WeLLcoME To My BLogS.......

BLaa....BLaa....BLaa....BLaa....BLaa....BLaa....!!!!!!!!!!!!!!

Sabtu, 25 Desember 2010

Perekonomian aceh stagnan

Perekonomian aceh stagnan...
Rendahnya
penyerapan anggaran pemerintah Aceh pada tahun 2009 sangat memprihatikan. Terlebih lagi kebiasaan penyerapan anggaran terjadi pada akhir-akhir tahun. Padahal, pembelajaan pemerintah sangat membantu memacu perekonomian di saat sektor swasta belum bekerja secara optimal. Dalam istilah ekonomi, Stagnan ekonomi terjadi ketika pertumbuhan ekonomi kurang dari 2-3 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun 2008 tanpa minyak dan gas hanya sebesar 1,9 persen saja.

Sementara itu selama tiga periode 2005-2008 terjadi kenaikan harga barang, perumahan dan upah tenaga kerja di Aceh jauh di atas rata-rata nasional. Di tahun 2008, Upah minimum regional di Aceh merupakan tertingggi di Indonesia Rp 1 juta, bandingkan dengan rata-rata nasional Rp 750.ribu. tingginya upah minimum mengakibatkan harga bahan makanan dan perumahan ikut naik. Kenaikan permintaan pada masa proses rekontruksi dan rehabilitasi telah mengakibatkan tingginya angka inflasi di Aceh pada tahun 2005 yang sempat menyentuh angka 10 persen lebih. Dalam istilah ekonomi Inflasi diartikan sebagai kenaikan barang secara umum secara terus menerus.

Kenaikan harga barang dapat disebabkan oleh kelangkaan, atau karena musibah bencana alam. Namun dalam konteks inflasi yang terjadi di Aceh selama periode 2005-2008, penyebabnya karena bertambahnya peredaran uang. Selama proses rekontruksi dan rehabilitasi di Aceh, menunjukan peredaran uang di Aceh meningkat tajam pada periode tersebut yang mengakibatkan semua barang menjadi mahal. Hal ini terbukti dari peningkatan jumlah simpanan masyarakat di perbankan dari Rp 7 triliun di tahun 2004 menjadi Rp 20 triliun di tahun 2008 (Bank Indonesia).

Pasca berakhirnya proses rekontruksi dan rehabilitasi yang menjadi mesin dalam memacu perekonomian di Aceh timbul gejala stagnasi. Ada beberapa gejala stagnasi yang timbul di Aceh setelah berakhirnya mandat BRR bulan April 2009 yang lalu. Pertama, gejala Deflasi. BPS Aceh mempublikasikan bahwa di kota Banda Aceh ibukota Provinsi Aceh terjadi deflasi sebesar 1.30 persen (Serambi Indonesia, 5/01/2010).

Dalam Principle of Economics, tulis N Gregory Mankiw, “deflasi diakibatkan oleh penurunan persedian uang di masyarakat dan disisi lain jumlah barang yang tersedia meningkat”. Hal ini mengakibatkan perekonomian menjadi lesu. Sedangkan Chris Farrell dalam bukunya “Deflation : what happen when prices fall”.

Menyatakan Deflasi adalah salah satu ketakutan dalam ekonomi karena kelebihan produksi, pabrik juga berhenti beroperasi dan banyaknya pekerja yang menanti masa pemutusan hubungan kerja. Deflasi biasanya terjadi setelah terjadi booming ekonomi yang sangat pesat. Sebagai sebuah ilustrasi tentang Deflasi adalah seorang atlet pelari cepat, tetapi tiba-tiba berhenti menjadi penjalan kaki. Hal ini akan mengakibatkan otot-otot kaki menjadi lemah dan lesu serta bisa jadi menjadi lumpuh.

Begitulah analogi kegiatan perekonomian di Aceh tahun 2005-2008, dengan sokongan dana yang mencapai puluhan triliun rupiah dari BRR, Lembaga donor dan pemerintah pusat perekonomian dipacu dengan kecepatan tinggi namun tiba-tiba diperlambat secara drastis di tahun 2009. Perlambatan ini bila tidak diatasi dengan kebijakan ekonomi yang tepat akan berlanjut pada tahun 2010. Perlu diingat bahwa deflasi juga merupakan sebuah peringatan kemungkinan terjadinya resesi.

Kedua, gejala yang terjadi pasca berakhirnya proses rekontruksi dan rehabilitasi adalah penggaguran,memasuki tahun 2009 sebagian besar NGO asing dan lokal mengakhiri masa baktinya di Aceh akibatnya banyak tenaga kerja yang dipesiunkan. Dalam satu survey pasar kerja yang dilakukan oleh Aceh Institute dan ILO disebutkan bahwa apabila tidak dilakukan penanggulan tenaga kerja secara baik maka aka terjadi “booming” penganguran di tahun 2012. Disebutkan bahwa untuk Banda Aceh jumlah angkatan kerjanya mencapai 67.179 jiwa. Sedangkan kesempatan kerja hanya 51.062 jiwa, sehingga terjadi kesenjangan 16.177 jiwa.

Di kabupaten Aceh besar jumlah angkatan kerjanya mencapai 216.036 jiwa, sedangkan lapangan kerja yang tersedia hanya 176.154 jiwa, sehingga terjadi kesejangan 40.157 jiwa. Sementara di kabupaten Pidie dan Pidie Jaya jumlah angkatan kerja mencapai 397.214 jiwa sedangkan jumlah lapangan kerja hanya 118,984 jiwa, atau angkatan kerja yang harus menganggur sebesar 278.231. jiwa (Serambi, 15/07/2009).

Penambahan jumlah tenaga kerja juga terjadi ketika proses reintegrasi para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka ke tengah masyarakat. Para mantan kombatan GAM harus mendapat perhatian dari pemerintah untuk mendapat pekerjaan yang layak setelah mereka kembali ke tengah-tengah masyarakat.

Ketiga, gejala yang muncul dari berkhirnya proses rekontrusi adalah penurunan harga produk pertanian secara dramatis. Para petani coklat, sawit, karet,kopi dan komoditi lainnya sering mengeluhkan penurunan harga secara dramatis ketika musim panen. Berbagai publikasi di harian Serambi Indonesia sering mengwartakan keluhan petani kelapa sawit yang harga jual buah tanda segar (TBS) kelapa sawit turun sangat rendah, begitu juga harga komoditas pinang, coklat, kopi, karet dan lainnya. Hal ini mengakibatkan petani dan pekebun tidak begitu bergairah merawat kebunnya.

Data statistik menunjukan bahwa selama periode 2005 sumbangan produk pertanian, kehutanan dan perikanan terhadap GDP naik dari -3,9 persen menjadi 1,5 persen ditahun 2006 dan menjadi 3,6 persen di tahun 2007, akan tetapi mengalami penurunan di bulan Mai 2008 menjadi hanya 0,8 persen.

Gejala stagnasi ekonomi di Aceh, bermula terjadinya deflasi, tingginya pengangguran dan penurunan harga komoditi pertanian harus diantisipasi oleh pemerintah secara dini. Langah antisipasi ini bertujuan untuk menghindari kejatuhan ekonomi di Aceh dari stagnasi, hingga lebih buruk lagi yaitu resesi ekonomi.

Menurut John M Keynes dalam bukunya “The General Theory of Employment, Interest and Money”, menyebutkan Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengerakan perekonomian yang sedang lesu. Di antaranya, pemerintah membelanjakan anggarannya ke sektor publik seperti infrastruktur seperti pembangunan jalan, sekolah, sarana kesehatan, dan sarana publik lainnya yang memiliki multiplayer effect yang tinggi terhadap usaha lain serta melibatkan banyak tenaga kerja.

Pemerintah harus menghindari menyimpan deposito dalam bentuk surat berharga di perbankan pada tahun 2010 karena investasi ini tidak produktif dan hanya membebani negara dengan bunga SBI. Pemerintah perlu menentukan satu leading sector di Aceh yang memimpin dalam pertumbuhan ekonomi dan mampu menyerap tenaga kerja terbanyak serta mampu berdampak ganda bagi sektor lain. Dengan begitu pembangunan dan sumberdaya akan terfokus.

Berdasarkan publikasi Bank Dunia (Aceh Economic Update), selama periode 2003-2008 komposisi tenaga kerja yang bekerja disektor pertanian mencapai 62 persen ditahun 2003, 60 persen ditahun 2004, 60 persen ditahun 2007, dan 54 persen ditahun 2008. Sektor pertanian merupakan sektor utama bagi perekonomian Aceh. Kontribusi sektor pertanian dari tahun 2001-2006 terhadap PDRB tanpa migas merupakan tertinggi mencapai 37,24 persen-42,88 persen. Disisi lain, bila kita membaca angka kemiskinan, sebanyak 30 persen dari populasi masyarakat yang tinggal di pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan. Ini menunjukkan, bahwa pembangunan sektor pertanian erat kaitannya dengan usaha pemberantasan kemiskinan di perdesaan dimana 70 persen masyarakatnya bermata pencarian sebagai petani.

Untuk membangun ekonomi perdesaan pemerintah memiliki dana alokasi khusus. Pada tahun 2009, Pemerintah Aceh menerima Dana Alokasi Khusus yang mencapai Rp. 3.849. 806.840.000, yang ditujukan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengetasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan (Departemen Keuangan RI).

Dalam rangka dan usaha pembangunan perdesaan dan penyerapan tenaga kerja di tahun 2010, pemerintah daerah dengan Dana Alokasi khusus perlu mempertimbangkan untuk mendirikan Badan Usaha daerah dibidang perkebunan. BUMD ini bertugas mengelola pabrik pengolahan dan perkebunan kelapa sawit milik daerah di Kuala Simpang, Aceh Utara, Aceh Singkil, Nagan Raya dan Aceh Barat. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mempublikasikan kemampuannya untuk membangun pabrik mini kelapa sawit lengkap dengan fasilitas pendukunganya dengan invetasi Rp. 10 Milliar dengan kapasitas produksi 5 Ton Tanda Buah Segar (TBS) per jam. Pendirian pabrik ini akan mampu meningkatkan harga jual petani dan menyerap ribuan tenaga kerja yang terdiri dari sarjana pertanian, sarjana teknik, sarjana pemasaran, hingga masyarakat yang tidak mendapat pendidikan formal untuk bekerja di perkebunan dan pabrik. Usaha ini akan mengerakan sektor lain seperti rumah makan, transportasi, secara langsung maupun tidak langsung dalam proses produksi disetiap pabrik yang akan dibangun (sumber : BPPT RI). Untuk wilayah Aceh Pidie, pemerintah membangun pabrik pengolahan kakao, yang mampu meningkatkan nilai tambah produk kakao menjadi cokelat. Di wilayah Biereun, dilokasi tersebut sangat cocok untuk daerah pengolahan pinang, dan wilayah Aceh tengah, dapat dibangun sebagai daerah budidaya palawija dan tanaman kopi secara intensif.

Langkah antisipatif untuk mengatasi perlambatan perekonomian di Aceh ialah dengan melindungi harga komoditi pertanian. Steven C Blank dalam bukunya “The Economics of American Agriculture : Evolution and Global Development”, menceritakan langkah pemerintah di Amerika untuk mengembangakan agriculture, salah satu poin pentingnya bahwa pemerintah perlu ikut campur dalam proteksi harga.

Presiden Amerika presiden Fraklin D Roosevelt di tahun 1933, pernah mengeluarkan undang-undang Agriculture Adjustment Act (AAA) untuk melindungi para petani dari jatuhnya harga panen. Pemerintah daerah perlu membentuk sebuah badan yang bertugas memantau harga komoditi, mencari investor, membantu permodalan dan mepromosikan hasil panen. Badan ini juga diberi tugas untuk melakukan regulasi menetapkan harga terendah dari komoditi dan apabila tidak apa pedagang yang membeli hasil panen dengan harga tersebut, maka Badan komoditi daerah akan membeli hasil komoditi pertanian ketika harga jatuh. Hal ini akan melindungi petani dari permainan harga ditingkat pedagang pengumpul dan sekaligus memberikan petani gairah dan kepastian dalam usahanya.

Proteksi dan campur tangan pemerintah di dalam mekanisme pasar tidak selama salah, selama bertujuan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat bukan untuk tujuan monopoli. Perdamaian yang telah dibangun merupakan sebuah jembatan emas untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera di Aceh. Tim ekonomi gubernur yang dipimpin oleh ketua Bappeda yang baru dilantik memiliki tanggungjawab yang besar untuk menangulangi gejala stagnasi pertumbuhan ekonomi di Aceh pasca berakhirnya proses rekontruksi dan rehabilitasi di Aceh.

* Penulis adalah dosen Universitas Teuku Umar, mahasiswa Master Economics Texas A &M University, USA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar