WeLLcoME To My BLogS.......

BLaa....BLaa....BLaa....BLaa....BLaa....BLaa....!!!!!!!!!!!!!!

Sabtu, 27 November 2010

Perbedaan Rencana pembangunan RI-JPN

Perbedaan Rencana pembangunan RI-JPN

Menjalani Time Table program Diklat TOT II ke Jepang merupakan pengalaman baru sekaligus menarik. Melalui metode gabungan antara pembelajaran di kelas dan field trip, peserta diklat diajak untuk berpikir sekaligus melihat langsung kondisi riil di lapangan.

Pada awalnya, agak kesulitan juga untuk membiasakan telinga mendengar percakapan bahasa inggris para professor di Universitas Ritsumeikan, namun dengan berusaha fokus dan sedikit berkonsentrasi, akhirnya menjadi semakin clear dan dapat menangkap isi ceramah dan perkuliahan Program diklat TOT dimaksudkan selain untuk menambah wawasan dan pengetahuan peserta yang sebagian besar datang dari kalangan universitas di Indonesia, juga diarahkan agar perserta dapat berfungsi sebagai “think thank” dalam penyusunan kurikulum pendidikan dan pelatihan Jabatan Fungsional Perencana (diklat JFP) juga nantinya sebagai pengajar dalam melatih peserta-peserta diklat perencana pembangunan nasional dibawah koordinasi Bappenas. Setelah menjalani proses pembelajaran ilmu perencanaan pembangunan selama 1 minggu di Universitas Indonesia-Jakarta dan 2 minggu di Jepang dengan kombinasi perkuliahan di kelas dan kunjungan-kunjungan ke municipal di beberapa kota di Jepang, ada beberapa pemahaman dan pengalaman yang perlu disampaikan berkaitan dengan proses perencanaan pembangunan. Dengan tidak bermaksud mengungkap tentang baik-buruk, plus-minus dan positif negatifnya, tulisan ini dimaksudkan sebagai tinjauan “historical” perencanaan pembangunan antara kedua negara sebagai bentuk “permenungan” penulis selama berkempatan “menyaksikan” hasil-hasil pembangunan di Jepang

1) Sekilas Umum pembangunan Jepang

Jepang adalah Negara yang khas. Kekhasannya terdiri dari berbagai dimensi dan variasi aspek kehidupannya. Mulai dari sistem budaya, hingga budaya kerja-kolektif. Mereka bukan bangsa yang mudah meniru dalam tatanan struktur sosial budaya. Begitu juga dalam sistem perekonomiannya. Ketika orang Jepang pergi belajar ke berbagai Negara di Amerika dan Eropa lainnya, untuk kemudian kembali ke negaranya untuk membangun, para ilmuwannya tidak begitu saja “menjiplak” pola umum pembangunan ekonomi yang dikembangkan di Negara barat. Para ilmuwan Jepang mengembangkan sistem perekonomiannya dengan memanfaatkan keunikan sistem sosial dan sistem budaya yang mereka miliki. Jika ingin mengkaji modernisasi Jepang, kajian tentang sistem budaya masyarakat Jepang yang terjadi ratusan tahun yang lalu adalah suatu “keharusan”. Ekonomi modern berkembang secara simultan dengan identitas budaya nasionalnya. Banyak pengamat Barat menyebut bahwa cultural identity dan social institution adalah embrio kapitalisme Jepang. Ilmuwan barat menjuluki kebangkitan perekonomian Jepang sebagai sebuah pengecualian menyimpang (anomaly) dan paradoksal. Meskipun Jepang belajar pada sistem kapitalis yang dibangun dan dikembangkan oleh negara-negara barat, namun Jepang tidak begitu saja mengadopsinya.

Dengan self confidence terukur, Jepang membangun sistem perkonomiannya dengan mengadaptasinya sesuai dengan sistem sosial-budaya masyarakat Jepang, sehingga tumbuh secara unik dan berkarakter ketimuran yang kuat. Bagi ilmuwan Jepang teori ekonomi barat hanya dianggap sebagai “bahan baku.” dan bukan alat yang langsung bisa dipakai. Para perencana ekonomi Jepang tidak pernah percaya bahwa untuk menjadi negara maju, nilai-nilai tradisionil harus dipinggirkan seperti yang terjadi di Barat. Bahkan sebaliknya nilai-nilai tradisionil adalah potensi yang dapat dijadikan sebagai katalis dan energi aktivasi serta dipadukan dengan teknologi modern untuk membangun suatu sistem perekonomian yang tangguh. Model perpaduan inilah yang disebut sebagai “dualisme ekonomi.” Dan ini sekaligus menjadi salah satu rahasia sukses perekonomian Jepang.

2 ) Strategi Pembangunan Ekonomi Jepang

Menyimak dan mempelajari sistem perekonomian Jepang tidak cukup hanya mengunakan lensa ekonomi, namun perlu menggunakan lensa sosial-budaya sebagai alat bantu untuk mempelajari perekonomian Jepang. Pemerintah Jepang memprioritaskan pembangunan infrastruktur sosial, dan mengintegrasikan tradisi sosial ke dalam sistem pembangunan ekonomi. Dari tinjauan mikro, salah satu aspek yang mendorong keberhasilan Jepang dalam membangun sumberdaya manusia paska perang dunia II adalah membudayakan sistem “Kerja Kelompok” (Team work). Para insinyur Jepang yang dikirim ke Barat untuk belajar harus kembali ke Jepang dengan membawa ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kemudian, ilmu dan teknologi yang mereka bawa harus diajarkan kepada semua anggota kelompoknya. Pengetahuan itu harus merata di antara anggota; jika tidak, kelompok itu tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Dilihat dari aspek makro pembangunan, Jepang memprioritaskan kebijakan pemerataan pembangunan. Diantara Negara-negara maju, Jepang adalah negara yang paling tinggi tingkat pemerataan hasil-hasil pembangunannya. Bukan hanya dari aspek pendapatan tetapi juga meliputi fasilitas publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur-fisik, dan lain-lain. Dari beberapa bahan rujukan tentang kota paling selatan Okinawa sampai daerah paling Utara Hokaido dan pengalaman pandangan mata selama perjalanan ke beberapa kota di Jepang seperti Tokyo, Kyoto, Osaka, Kobe, Kusatsu, Nigata, Kitakyusu, Oita dan kota-kota lainnya, rakyat jepang masa kini sudah menikmati fasilitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur fisik dan sosial, dan fasilitas publik lainnya. Daerah pedesaan di pegunungan mempunyai fasilitas jalan, air minum dan listrik kurang lebih seperti di Tokyo, Kyoto, Osaka dan kota-kota besar lainnya.

3) Sumberdaya Domestik.

Perbedaan yang cukup signifikan antara Jepang dan Negara maju lainnya dalam hal sumberdaya pembangunan terletak pada bagaimana Jepang sangat sedikit menggunakan sumberdaya modal dari luar (hutang luar negeri) untuk pembangunan terutama pada dekade awal pembangunan industri. Sementara Negara-negara eropa seperti Belgia, Perancis, bahkan Rusia justru menggantungkan pada foreign capital (hutang luar negeri) yang difasilitasi oleh“British Capital” dan “French Capital” pada era tahun 1800-an.

Jepang memang tidak menggantungkan pada foreign capital untuk membiayai pembangunan ekonominya oleh karena beberapa alasan yaitu :

(a) Investor asing tidak tertarik berinvestasi karena Jepang bukan Negara yang kaya sumberdaya alam sehingga “capital-inflow” dalam bentuk “Foreign Direct Investment (FDI)” tidak terjadi.

(b) pemerintah Jepang pada saat itu benar-benar belajar dari pengalaman Negara-negara lain yang mengalami kesalahan dalam mengelola foreign capital seperti yang terjadi di Negara Mesir dan Turki yang menyebabkan “kekacauan ekonomi” kedua negara tersebut. Belajar dari kegagalan Negara lain, pemerintah Jepang giat lalu mengkonsolidasikan sumberdaya domestik dan mendorong perusahaan-perusahaan lokal untuk menjadi mitra pemerintah dalam membangun dan memajukan perekonomian nasional serta membantu dan memfasilitasi masyarakatnya menjadi pengusaha-pengusaha baru.

Dengan mengefektifkan sumberdaya-sumberdaya baru tersebut, Jepang memulai revolusi industrinya sebagai kekuatan utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam sejarah Jepang, sebelum tahun 900, pinjaman luar negeri yang terbesar tercatat 5 juta yen yang dipinjam pada tahun 1870 ketika membangun ruas jalan kereta api antara Tokyo dan Yokohama. Prosentase pinjaman tersebut sangat kecil dibandingkan dengan total dana yang dipakai untuk membangun ruas jalan kereta api pada saat itu.

(c) Memprioritaskan Pembangunan Infrastruktur Sosial. Keunggulan Jepang lainnya dalam hal rekonstruksi perekonomian pasca perang dunia II yang menghancurkan sebagian besar infrastruktur fisik adalah bahwa infrastruktur sosial yang dibangun sejak masa keemasan samurai tidak ikut hancur. Meskipun infrastruktur fisik luluh lantak, pengangguran besar-besaran tak dapat dihindari, namun sistem pendidikan yang telah diwajibkan pada masa Tokugawa dan para “shohun” (jendral, militer) terus didorong agar masyakarat untuk terus belajar, terutama dalam hal membaca dan menulis serta terus membangun sistem pendidikan dan business tradition. Dua infrastruktur sosial penting inilah yang telah dibangun dan pada akhirnya menjadi landasan yang kuat dalam pertumbuhan ekonomi moderen di Jepang dalam waktu yang relatif singkat dengan hanya dalam kurun waktu 25 tahun. Hal ini mencerminkan bahwa “Sumber Daya Manusia” merupakan hal sangat penting sebagai bagian dari “infrastruktur sosial” dalam proses pembangunan. Dimasa lalu dalam sistem pemerintahan yang otokratis feodalisme, dimana Jepang masih menutup diri dari pergaulan internasional dan sistem perekonomian moderen tidak dapat dilaksanakan, peranan sekolah yang diprakarsai oleh kuil-kuil budha cukup mendorong iklim dan tradisi bisnis, sehingga masyarakatnya dapat bertahan secara berswadaya dan mandiri. Pertanian terutama hasil-hasil pertanian dilakukan dengan sistem cooperation and joint-undertaking.

Dari berbagai sumber bacaan diperoleh informasi bahwa berdasarkan tradisi negara-negara di Eropa, iklim industrialisasi dianggap berseberangan dengan unsur tradisional, sehingga solusinya adalah apabila suatu negara menganut industrialisasi sebagai jalan menuju kesejahteraan kolektif, maka unsur tradisional harus “dihapuskan.” Yang terjadi di Jepang sebaliknya, nilai-nilai dan institusi tradisional justru tetap dipertahankan, bahkan sampai sekarang, di era globalisasi ekonomi, nilai-nilai tradisional tetap eksis dalam manajemen dan praktek bisnis. Life-time employment, seniority based system, dan traditional family system adalah contoh-contoh nilai dan institusi tradisionil Jepang yang masih terpelihara hingga sekarang.

Meskipun sudah banyak kritikan dari masyarakat internasional maupun dari masyarakat Jepang sendiri tentang kelemahan sistim nilai tersebut. Para pengeritik mengadvokasi untuk meninggalkannya dan mengadopsi “manajemen moderen” yang dikembangkan di Barat sebagai gantinya. Tetapi sebagian besar dari mereka terus dan masih meyakini bahwa justru dengan model seperti itu Jepang bisa menjadi negara yang disegani dalam bidang ekonomi, sains, dan teknologi.

Inilah potret bagaimana sistem perekonomian Jepang dibangun melalui karakter sosial budaya yang “mature” dan tangguh setelah kehancuran ekonomi dan trauma mendalam pasca Perang Dunia II, dengan keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi mereka mengembangkan model mereka sendiri. Mereka beranggapan bahwa konsep dan sistem perekonomian yang dirakit di barat dianggap baru mencapai proses “bahan-baku”, dan belum “ready to use.”

4) Pola Perencanaan Pembagunan di Indonesia

Pada abad ke-19, kata pembangunan lebih bermakna industrialisasi yang dianggap akan mampu memanusiakan manusia. Paradigma ini seperti bercermin pada revolusi industri yang terjadi di Perancis pada saat itu. Perkembangan selanjutnya, awal abad ke-20, dalam pemikiran ekonomi pembangunan moderen, arti kata pembangunan lebih diidentikkan dengan economic growth yang digerakkan oleh ekonom-ekonom Amerika. Pada saat itu, mekanisasi dan industrialisasi menjadi “mesin ekonomi” dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Economic growth dikombinasikan dengan politik modernisasi seperti; nation building, and social modernization seperti promosi kewirausahaan dan orientasi prestasi dalam manajemen perusahaan (Pieterse, 2001:6).

Pendekatan economic growth sebagai proses dan upaya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia sangat percaya pada paradigma “trickle down effects”dengan asumsi bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yangtinggi akan menghasilkan akumulasi pendapatan nasional yang pada gilirannya akan terdistribusi ke lapisan bawah, hingga akhirnya terbukti dalam pelaksanaannya asumsi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya akibat terjadinya mal praktek pembangunan. Bahkan promosi economic growth tidak sedikit menimbulkan masalah baru terutama di negara-negara berkembang seperti yang terjadi di Indonesia, disparitas pendapatan antara si kaya dan si miskin semakin tajam, disparitas daerah antar Jawa dan luar Jawa, dan disparitas kota dan desa semakin melebar sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga tahun 1997 (sebelum krisis ekonomi). Berawal dari UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa bahwa tujuan dan sasaran pembangunan adalah untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, pemerintah Indonesia secara bertahap menuangkan kerangka kerja lima tahunan. Meskipun pada era pemerintahan Orde Baru sampai Orde Kabinet Bersatu berhasil melakukan pembangunan di berbagai sektor, namun bukan tanpa aral dan hambatan dan tidak sedikit kegagalan pembangunan yang salah satunya diakibatkancentralized policy system and planning formulation dibawah pemerintahan Orde Baru. Dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut menyebabkan kemacetan ide/ gagasan yang datang dari inisiatif lokal/ daerah. Peralihan pemerintahan dibawah kemimpinan Presiden BJ.Habibie, badai reformasi dan demokrasi bertiup kencang seiiring bergulirnya otonomi daerah. Dalam harian Kompas 23/8-2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan, akibat percepatan pembangunan yang berbeda-beda, Indonesia dihadapkan pada ketimpangan antarwilayah. Perbedaan mencolok hasil pembangunan antarwilayah terlihat antara wilayah Jawa dan luar Jawa, wilayah barat dan timur Indonesia, dan wilayah maju dan tertinggal. Terjadinya ketimpangan antarwilayah membuat sejumlah kawasan tertinggal. Akses masyarakat terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik terbatas. Pemerintah telah mengidentifikasi 199 kabupaten dari 440 kabupaten/kota di Indonesia tertinggal, 20 di antaranya di perbatasan, ujar Presiden dalam keterangan pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta.

Identifikasi 199 kabupaten tertinggal sudah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009 dan segera diatasi dalam jangka waktu lima tahun itu. Penyebab ketertinggalan daerah itu adalah tidak terdapatnya potensi yang bisa dikembangkan dan letak geografis yang sulit dijangkau sehingga prasarana sulit disediakan. Arah pengembangan kawasan tertinggal adalah pemberdayaan masyarakat secara komprehensif dan partisipatif yang mencakup penyediaan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan prasarana dasar. Kehidupan sosial ekonomi dikembangkan sesuai dengan potensi sumber daya alam dan aspirasi lokal, Lalu, bagaimana dengan model pembangunan ekonomi di Indonesia selama ini?” B

ersama kita telah menyaksikan dan mencermati bahwa model pembangunan Indonesia yang dikembangkan selama Orde Baru hingga sekarang masih sangat mengandalkan hutang luar negeri (foreign capital,) sumberdaya domestik belum dikembangkan dengan baik, industri-industri manufaktur banyak bergantung pada bahan impor dalam proses produksinya; anggaran pendidikan nasional relatif masih rendah dari total APBN, inisiatif dan budaya lokal semakin tidak populer akibat dominasi pemerintah pusat dalam perumusan kebijakan publik, sehingga institusi lokal tak berkembang, praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan nyaris terjadi di berbagai lini, hak “wong cilik” untuk hidup layak tidak terurusi, lemahnya peegakkan hukum (law enforcement”) yang akhirnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi semu karena tumbuh hanya dari sektor konsumsi saja, sehingga budaya baru konsumerisme tak terelakkan, sebuah landasan dan fundamental ekonomi yang rapuh. Seperti halnya Jepang, apakah Indonesia tidak memiliki sumberdaya berupa nilai dan norma sosio-kultural dan sumberdaya domestik yang bisa dijadikan modal dasar pembangunan ekonomi nasional?” Sebenarnya, ada begitu besar modal dasar sosial budaya dan nilai-nilai tradisional yang dimiliki oleh negeri kita Indonesia. Berbagai suku bangsa yang ada didalamnya memiliki norma kearifan lokal yang bermuatan positif. Dapat dibayangkan betapa sulitnya mengintegrasikan heterogenitas tersebut menjadi sebuah kesepahaman kolektif. Dan dalam perjalanannya ternyata masih terdapat banyak halangan terutama yang menyangkut persoalan konflik vertikal maupun horisontal, seperti dapat disaksikan di berbagai tayangan berbagai media massa dan elektronik.

Pembelajaran masyarakat terhadap sistem demokrasi yang terbuka lebar menjadi sebuah harga yang sangat mahal dan harus dibayar dengan berbagai permasalahan rumit. Sistem pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah seperti direpotkan untuk menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi setiap harinya, dari mulai konflik agraria antara petani dan industri hingga kasus manipulasi dan penyalahgunaan wewenang di dunia perbankan. Kebijakan untuk mendorong industrialisasi nasional menyebabkan sektor pertanian lambat laun menjadi prioritas kedua dan nyaris tidak populer lagi. Inilah titik awal kemunduran sistem pertanian nasional yang dulu pernah menjadi “trademark“Indonesia sebagai negeri agraris.

Pembangunan pedesaan berbasis pertanian sesungguhnya sebuah keniscayaan dalam konteks perekonomian Indonesia. Namun, karena proses politik dan kebijakan ekonomi makro yang tak berpihak pada sektor pertanian serta besarnya daya tarik ekonomi sektor non-pertanian menjadikan pembangunan pedesaan dan sektor pertanian nyaristerlupakan. Berbagai indikator ekonomi seperti kucuran kredit perbankan untuk sektor pertanian yang hanya sekitar lima persen per tahun dan pengurangan subsidi terhadap input pertanian bisa menjadi pembenar atas pernyataan ini. Selain itu, perhatian pemerintah terhadap pengembangan sumberdaya manusia (SDM) sebagai bagian internal pembangunan pedesaan dan infrastruktur sosial masih kurang. Hal ini relatif berbeda dengan pendekatan pembangunan di Jepang, dimana pengembangan SDM dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari pengembangan infrastruktur sosial dan salah satu pilar pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, humanisasi pembangunan pedesaan yang mengedepankan pengembangan SDM untuk membangun “local empowerment” dan “local capacity” perlu mendapat dukungan politik, sehingga pemerintah secara serius membenahinya. Selain itu, lokalisasi kebijakan dan strategi pembangunan perdesaan juga diharapkan bisa menjadi solusi yang tepat dalam memacu laju pembangunan perdesaan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

5) Keterbatasan Sumberdaya dan Budaya Iptek

Masih terbatasnya sumber daya iptek tercermin dari rendahnya kualitas SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang iptek. Rasio tenaga peneliti Indonesia masih belum sebanding, sebagai contoh pada tahun 2003 adalah 4,7 peneliti per 10.000 penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan Jepang sebesar 70,7. Selain itu rasio anggaran iptek terhadap PDB sejak tahun 2002 mengalami penurunan, dari 0,052 persen menjadi 0,039 persen pada tahun 2004. Rasio tersebut jauh lebih kecil dibandingkan rasio serupa di ASEAN, seperti Malaysia sebesar 0,5 persen (tahun 2002) dan Singapura sebesar 1,89 persen (tahun 2003). Sementara itu menurut rekomendasi UNESCO, rasio anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2 persen.

Kecilnya anggaran iptek berakibat pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya biaya untuk operasi dan pemeliharaan. Faktor-faktor ini pulalah yang besar kemungkinan menyebabkan tingginya angka kecelakaan di sektor transportasi yang melanda negara kita pada tahun-tahun belakangan ini. Disamping itu Budaya bangsa secara umum masih belum mencerminkan nilai-nilai iptek yang mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul dan mandiri. Pola pikir masyarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka mencipta daripada sekedar memakai, lebih suka membuat daripada sekedar membeli, serta lebih suka belajar dan berkreasi daripada sekedar membeli teknologi “siap saji”. Sikap masyarakat menjadi semakin konsumtif karena sikap pemerintah yang justru sangat memanjakan kebijakan impor, mulai dai barang-barang manufaktur, elektronik sampai pada kebutuhan pokok seperti beras dan bahkan garam dapur. Sudah barang tentu, kondisi ini berakibat pada tidak optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna.

Masalah ini dapat dilihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, seperti institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi yang dibutuhkan oleh industri-industri lokal. Masih banyak faktor faktor penghambat lain misalnya keterkaitan kegiatan riset dengan kebutuhan nyata, kinerja kelembagaan litbang yang tidak maksimal, aktivitas riset yang masih terkesan “sekedarnya” dan pada akhirnya melengkapi segenap kekurangan dan ketertinggalan Indonesia di dunia Iptek.

6) Budaya Konsumerisme ?

Kondisi terkini, perekonomian Indonesia ditengah pasar global sepertinya tidak terlalu banyak terpengaruh oleh krisis global yang melanda negara-negara maju. Salah satu faktor yang menyelamatkan Indonesia dari krisis adalah bahwa Indonesia belum masuk kedalam “rantai nilai” sistem produksi dalam sistem industri dunia, meskipun dunia industri nasional sempat “goyah” karena krisis ini, namun karena skala dan konstelasinya masih terbatas maka akibatnyapun tidak se-”telak” seperti yang dirasakan oleh negara-negara industri maju berikut “networking” nya. Aspek lain yang menyelamatkan perekonomian Indonesia saat ini adalah bahwa faktor “C” atau konsumsi masyarakat yang sangat tinggi telah membentuk iklim pertumbuhan ekonomi tetap terjadi, meskipun secara makro pertumbuhan ini belum dapat dikatakan dapat memberi kontribusi secara signifikan. Inilah yang sedang terjadi, serbuan produk teknologi seakan telah menjadi kebutuhan pokok.

Sayangnya, tuntutan modrnisasi ini belum dibarengi dengan daya beli yang memadai namun masyarakat sudah terlanjur disuguhi berbagai produk pabrik, mulai dari produk otomotif, elektronik, fashion, hingga makanan ringan dengan kemasan yang sangat menarik. Disinilah persoalannya. Disatu sisi masyarakat dibujuk dengan metode pemasaran yang canggih untuk membeli produk-produk konsumtif tersebut, namun realitanya dayabeli masyarakat konsumen sebagai salah satu aspek dalam infrastruktur sosial belum merata, sehingga membuka persoalan baru dan potensi kriminalitas yang semakin meningkat.

Sementara itu persaingan bisnis yang tidak sehat bahkan monopoli, apalagi ketika hukum tidak ditegakkan, orientasi maksimalisasi profit mendorong munculnya praktik bisnis yang ilegal atau tidak memperhatikan nilai keadilan Dalam situasi tersebut, penggusuran terhadap pusat-pusat ekonomi rakyat dihalalkan demi menciptakan pasar-pasar baru yang lebih efisien dan efektif. Konsekuensinya, masyarakat kehilangan daya tawarnya,

Dari kacamata sosial budaya meningkatnya eksploitasi terhadap konsumen dengan sistem ekonomi kapitalis yang tidak sempurna ini menyebabkan :

· Kesejahteraan masyarakat luas tidak lagi menjadi prioritas utama.

· munculnya budaya konsumerisme.

· terjadinya praktik monopoli dan kolusi.

Ketergantungan masyarakat terhadap produk-produk konsumtif tersebut cepat atau lambat berakibat pada merebaknya kejahatan sosial seperti judi, miras, prostitusi, narkoba, dan HIV/AIDS. Hal ini menjadi pemicu paling kuat dan meledaknya kekerasan yang memerosotkan penghargaan akan nilai-nilai kemanusiaan.

Padahal kemerosotan dan etika menunjukkan bagaimana hati nurani telah dimatikan seperti ditemukan dalam berbagai dampak negatif dan globalisasi dan kemajuan teknologi. Iklim tersebut lambat laun menyebabkan memudarnya akar budaya, sejarah dan nilai-nilai yang dimiliki hingga masyarakat kehilangan bentuk interaksi sosial yang dibangun atas dasar saling percaya.

Pada akhirnya masyarakat cenderung bersikap apatis terhadap realitas sosial yang terjadi, sejauh tidak bersinggungan dengan kepentingan mereka. Sebaliknya masyarakat cenderung menjadi reaktif dan berpotensi melakukan kekerasan, jika merasa kepentingan hidup mereka dipermainkan dan terancam.

Jika mencermati perkembangan perencanaan pembangunan di Indonesia terkini dalam situasi politik yang sangat fluktuatif, maka disinilah perlunya kita belajar dari pengalaman negara lain, misalnya bagaimana Jepang membangun negaranya dengan berkaca melalui kacamata sejarah (historical) dan sumberdaya domestik yang dimiliki sebagai basis kekuatan dalam sistem perencanaan partisipatifnya yang terbukti baik.

Mengutip tulisan seorang sahabat, Wignyo Adiyoso dalam bukunya “Menggugat Perencanaan Partisipatif Dalam Pemberdayaan Masyarakat” secara gamblang mengatakan bahwa : Walaupun partisipasi bukanlah “mantra sakti” yang bisa menghidupkan “roh” pembangunan yang sudah menjelang “ajal”, gagasan tentang partisipasi masyarakat terus berkembang dan meningkat intensitasnya akhir-akhir ini.

Apalagi ketika wacana neoliberalisme vs ekonomi pro rakyat kembali mencuat saat pemilu presiden yang lalu. Isu ini tetap relevan dan penting terus untuk didiskusikan ketika fenomena kemiskinan serta buruknya akses kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat miskin menjadi keprihatinan sebagian besar orang sebagai akibat teraleniasinya rakyat dari pusaran proses pembangunan.

Meskipun Indonesia sudah memiliki UU no 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) yang menjamin peran serta masyarakat dalam pembangunan, namun efektivitasnya dipertanyakan.

Karena ketidakjelasan konstruksi partisipasi secara eksplisit yang mencerminkan kehendak rakyat dalam undang-undang tersebut, perencanaan partisipatif dinilai masih sebatas artifisial, kalau tidak dapat dikatakan gagal. Inilah fakta umum yang barangkali banyak kalangan juga akan sependapat. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah : Bilakah atau akankah kita belajar dari pengalaman bangsa-bangsa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar