WeLLcoME To My BLogS.......

BLaa....BLaa....BLaa....BLaa....BLaa....BLaa....!!!!!!!!!!!!!!

Kamis, 23 Desember 2010

AFTA: Tantangan dan ancaman bagi perekonomian

Perayaan pergantian tahun menuju 2010 telah usai. Negara-negara Asia Tenggara menyambut 2010 dengan berbagai kekhawatiran, karena pada saat itulah pasar bebas melanda di seantero Asia Tenggara. Negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, sedang bersiap-siap mengantisipasi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi menyusul implementasi penuh kesepakatan perdagangan bebas antar anggota ASEAN yang ternyata bertambah satu negara non-anggota, yaitu China.

AFTA+CHINA 2010 menimbulkan penentangan dari berbagai kalangan, khususnya mereka para pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia. Hal ini dikarenakan UKM merupakan salah satu pihak yang paling di rugikan dengan adanya AFTA China.


Kekhawatiran para pelaku UKM sangatlah beralasan, karena dengan adanya pasar bebas ini dipastikan produk China akan membanjiri pasar di seluruh Indonesia, dan itu artinya produk-produk dari dalam negeri khususnya produk-produk UKM akan dipaksa untuk bersaing dengan produk-produk China yang terkenal dengan harga yang sangat murah dengan kualitas yang cukup bagus. Padahal, dunia UKM Indonesia belum memiliki kesiapan yang cukup untuk ‘bertarung’ dengan kehadiran produk China tersebut.


Sebelum diberlakukanya perdagangan bebas saja, produk China sudah membanjiri pasar indonesia, dapat dibayangkan kondisi yang terjadi saat pasar bebas benar-benar di berlakukan di Indonesia di tahun 2010 ini, tentu benar-benar akan memberikan ancaman bagi para pelaku usaha dalam negeri khususnya UKM.


AFTA China menimbulkan dua pandangan yang berbeda. Di satu sisi, hal ini bisa menjadi ancaman, di sisi lain, ini bisa dijadikan sebagai sebuah tantangan untuk dunia usaha di Indonesia agar meningkatkan kualitas dan persaingan harga yang ditawarkan produk Indonesia. Namun, kekhawatiran akan ancaman yang ditimbulkan AFTA China, lebih mengemuka dan menjadi prahara yang menakutkan dunia usaha kecil dan menengah di Indonesia.

Mengenai AFTA dan Regionalisasi ekonomi di Asia tenggara

Pada tahun 1980-an, serangkaian perubahan fundamental melanda dunia, antara lain munculnya lingkungan ekonomi dunia yang kompetitif yang mengakibatkan perubahan cepat menuju ekonomi berorientasi pasar khususnya di negara-negara Eropa pecahan Uni Soviet dan juga di Asia yang ditandai dengan adanya reformasi ekonomi melalui privatisasi, deregulasi dan liberalisasi; terjadinya revolusi teknologi informasi yang memungkinkan peningkatan secara luar biasa traksaksi perdagangan dan saling ketergantungan antar negara di dunia ; dan meningkatnya regionalisasi yang ditandai dengan munculnya pengaturan perdagangan dan investasi dalam lingkup regional di berbagai belahan dunia.

Bersamaan dengan itu, negara-negara Asia secara umum mulai menerima prinsip-prinsip liberalisasi yang disertai dengan meningkatnya tekanan strategi pembangunan yang berbasis daya tarik bagi investasi asing langsung serta munculnya kesadaran di kalangan para pemimpin ASEAN untuk memperkuat kerja sama ekonomi guna menghadapi tekanan komparatif dari luar kawasan. Berbagai kecenderungan tersebut kemudian mendorong para pemimpin negara Asia, khususnya negara-negara anggota ASEAN, untuk mendirikan suatu organisasi ekonomi regional di Asia tenggara.

Melalui rangkaian negosiasi panjang, pada Millenium Summit ke-4 ASEAN di Singapura tahun 1992, ASEAN yang saat itu masih beranggotakan 6 negara (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) sepakat membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN Free Trade Area (AFTA) dalam rentang waktu 15 tahun dimulai sejak 1 Januari 1993. Vietnam yang bergabung dengan ASEAN pada tahun 1995 disusul oleh Laos dan Myanmar dua tahun kemudian serta Kamboja pada tahun 1999 secara otomatis tergabung dalam keanggotaan AFTA bersamaan dengan masuknya mereka ke organisasi regional tersebut. Meskipun pada mulanya pelaksanaan kesepakatan AFTA ditargetkan akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), target ini kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.

AFTA merupakan bentuk kesepakatan negara-negara Association of South East Asia Nations (ASEAN) untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan ASEAN dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN dengan tujuan meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN, melalui skema CEPT-AFTA.

Kesepakatan yang diratifikasi sepuluh negara anggota organisasi regional ini, menjalankan startegi kebijakan bersama dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar potensial bagi 500 juta penduduknya. Dengan kata lain, dengan diberlakukannya AFTA, negara-negara ASEAN dapat menarik investasi sebesar-besarnya dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN.

Untuk memudahkan pencapaian tujuannya, AFTA menyusun Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) yang merupakan suatu mekanisme kebijakan perdangangan bersama yakni penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif, dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.

Komitmen negara-negara ASEAN dalam CEPT-AFTA bersifat mengikat secara hukum, artinya perjanjian CEPT telah di ratifikasi oleh negara-negara anggota ASEAN dan penurunan tarif telah diberlakukan secara resmi. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunei Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand, dan bagi Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.

Ada empat daftar yang disusun mengenai klasifikasi produk dalam CEPT, yaitu :

  1. Inclusion List (IL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang memenuhi kriteria : masuk dalam jadwal penurunan tarif; tidak dikenakan pembatasan kwantitatif; dan hambatan non-tarifnya harus dihapuskan dalam waktu 5 tahun.
  2. General Exception List (GEL), yaitu daftar produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara karena dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, nilai barang-barang seni, bersejarah atau arkeologis. Ketentuan mengenai General Exceptions dalam perjanjian CEPT konsisten dengan Artikel X dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Contoh : senjata dan amunisi, narkotik, dsb.
  3. Temporary Exclusions List (TEL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT. Produk-produk dalam TEL tidak dapat menikmati konsensi tarif CEPT dari negara anggaota ASEAN lainnya dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk-produk yang tercakup dalam ketentuan General Exceptions.
  4. Sensitive List, suatu daftar yang berisi produk-produk pertanian bukan olahan (Unprocessed Agricultural Products = UAP ), seperti bahan baku pertanian dan produk-produk yang telah mengalami perubahan bentuk sedikit dibanding bentuk asalnya, seperti beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, cengkeh.

Selain itu, terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi oleh suatu produk untuk dapat masuk dalam konsensi CEPT yaitu harus sudah masuk dalam Inclusion List (IL) dari negara eksportir maupun importir, mempunyai program penurunan tarif yang disetujui oleh Dewan AFTA (AFTA Council), dan harus memenuhi persyaratan kandungan lokal 40%, artinya suatu produk dianggap berasal dari negara anggota ASEAN apabila paling sedikit 40% dari kandungan bahan didalamnya berasal dari negara anggota ASEAN.

Sebagai catatan, AFTA 2002 hanya mencakup pembebasan arus perdagangan barang. Mengenai kebebasan keluar masuk sektor jasa atau liberalisasi sektor jasa, misalnya arus perpindahan tenaga di negara-negara ASEAN, di atur sendiri dengan kesepakatan yang di sebut ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), dimana liberalisasinya ditargetkan tercapai pada tahun 2020.

Ancaman dan Tantangan AFTA China 2010 bagi Indonesia

AFTA ASEAN-China yang dimulai tanggal 1 Januari 2010 mendatangkan kekhawatiran dari kalangan masyarakat dan pelaku UKM. Kekhawatiran itu muncul karena ancaman bangkrutnya dunia usaha lokal yang disinyalir tidak mampu bersaing dengan banjirnya produk-produk China yang terkenal murah dan berkualitas cukup baik. Ancaman tutupnya pabrik-pabrik lokal menimbulkan momok pemutusan hubungan kerja dan meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Pemerintah sendiri mengungkapkan kekhawatiran tersebut, dengan memperkirakan penerimaan negara dari bea dan cukai akan menurun di tahun 2010.

Dirjen Bea dan Cukai Anwar Suprijadi mengatakan, Indonesia belum siap menerapkan AFTA China hasilnya adalah selain menimbulkan potensial loss di penerimaan negara, AFTA juga akan menggangu industri, termasuk petani dalam negeri dengan gempuran produk impor terutama dari China, seperti buah-buahan. Ia juga menyatakan, pemerintah sampai saat ini masih melakukan evaluasi terhadap penerapan AFTA ASEAN-China.

Di luar tujuannya yang ingin meningkatkan daya saing perekonomian kawasan ASEAN, ada hal penting yang seharusnya menjadi perhatian dan pertimbangan dalam menerapkan AFTA, khususnya di Indonesia, yakni mengenai kesiapan para pelaku usaha kecil dan menengah di dalam negeri yang belum memiliki kualitas dan kemampuan bersaing dalam produk-produk mereka. Dengan kondisi ini, penerapan AFTA China pada tahun 2010 akan menjadi merupakan pukulan telak dalam dunia usaha Indonesia. Sebelum diberlakukannya AFTA China, produk-produk Indonesia sudah kewalahan bersaing dengan banjirnya produk China yang murah harganya dan berkualitas cukup baik. Lantas, bagaimana jika AFTA China benar-benar sudah diberlakukan? Ini tentu menjadi sumber kekhawatiran terbesar bagi dunia usaha Indonesia saat ini.

Bagi sebagian kalangan dunia usaha yang memiliki kualitas dan manajemen usaha yang baik, AFTA dapat dijadikan tantangan dan pengujian atas produk mereka: apakah mereka bisa bersaing secara sehat dengan produk-produk dari China; apakah mereka bisa mengungguli segala ‘kebaikan’ yang ditawarkan dari produk China?. Sisi positifnya adalah, pelaku usaha akan menjadikan pasar bebas ini sebagai semangat dan modal yang memotivasi mereka untuk selalu meningkatkan kualitas dan mempertimbangkan harga produk yang terjangkau oleh konsumen.


Namun, pada kenyataannya, sebagian besar pelaku usaha di Indonesia, terutama kecil dan menengah, belum siap dengan adanya pasar bebas yang diusung AFTA China. Dunia usaha kecil dan menengah masih dibelit dengan persoalan permodalan, pemasaran, sampai manajemen usaha yang dikelola dengan keterbatasan kemampuan dan kurangnya arahan dari pihak pemerintah yang bisa meningkatkan kelancaran usaha mereka.

Menjawab Tantangan dan Ancaman AFTA China 2010

Melihat kondisi dunia UKM Indonesia dan kenyataan diberlakukannya AFTA 2010, dapat disimpulkan bahwa menyikapi datangnya pasar bebas sebagai ancaman atau tantangan akan tergantung dari kesiapan atau tidak kesiapannya para pelaku usaha di dalam negeri. Karena ketika pelaku usaha dalam negeri sudah kuat dan menghasilkan produk berkualitas terbaik dengan harga yg murah dan terjangkau, pasar bebas tidak lagi perlu dikhawatirkan. Yang dibutuhkan adalah, upaya-upaya peningkatan mutu produk UKM sehingga masyarakat Indonesia tidak kecewa dengan produk yang mereka beli dari negerinya sendiri.

Siap tidak siap, AFTA China 2010 telah diberlakukan. Meski sekarang tidak banyak waktu untuk berbenah diri dan bersiap menghadapi gelombang pasar bebas ini, masih ada yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi dampak merugikan dari AFTA China. ‘Dukung Produk Indonesia’ mungkin adalah jargon yang tepat dalam menghadapi AFTA 2010. Solidnya kerjasama dan koordinasi dari pelaku usaha kecil dan menengah, pemerintah, dan masyarakat konsumen Indonesia sangat dibutuhkan jika rakyat tidak ingin terancam pengangguran besar-besaran akibat matinya dunia usaha lokal. Pemerintah perlu mengeluarkan bantuan dan pinjaman dana khusus untuk pelaku usaha kecil dan menengah, dengan bunga sekecil-kecilnya, dan juga pelatihan-pelatihan dan bimbingan peningkatan mutu produk secara terus menerus. Selanjutnya masyarakat dapat berpartisipasi dalam bentuk pelaksanaan Dukung Produk Indonesia, dengan selalu mengkonsumsi produk-produk yang dihasilkan bangsanya sendiri.**

(Asrudin, dari berbagai sumber)

1 komentar:


  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus