WeLLcoME To My BLogS.......

BLaa....BLaa....BLaa....BLaa....BLaa....BLaa....!!!!!!!!!!!!!!

Sabtu, 01 Januari 2011

Dana Otsus Aceh 2011

JAKARTA: Alokasi dana Otonomi Khusus (otsus) untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) 2011 diperkirakan sebesar Rp4,05 triliun.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengatakan angka itu merupakan perkiraan karena hingga hari ini PMK tentang penentuan alokasi dana otsus 2011 sesuai UU APBN 2011 sebesar Rp4,5 triliun belum juga terbit.

“Dana otsus sesuai UU APBN 2011 sebenarnya adalah Rp4,5 triliun. Dana otsus tersebut akan digunakan untuk melanjutkan pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan di 2010,” kata Irwandi dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR hari ini.

Pemda Aceh telah mengalokasikan dana otsus sementara yang sebesar Rp4,05 triliun untuk menyejahterakan rakyat Aceh, dengan rincian untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp1,722 triliun, pemberdayaan ekonomi Rp805,8 miliar, pengentasan kemiskinan Rp398,8 miliar, pendidikan Rp637,9 miliar, sosial Rp42,3 miliar, kesehatan Rp383,7 miliar, dan untuk keistimewaan Aceh Rp59,1 miliar.

Irwandi mengklaim penggunaan dana otsus tahun 2008-2010 telah memberi dampak yang sangat besar terhadap kesejahteraan rakyat Aceh. Pertumbuhan ekonomi Aceh pada semester I/2010 mencapai 5,4%. Angka kemiskinan juga turun menjadi 20,98% pada semester I/2010, menurun dari tahun 2005 sebesar 32,8%.

“Tahun 2007 angka kemiskinan 30%. Sejak tahun 2005, angka kemiskinan turun di atas 2% setiap tahun. Menurut Kepala Bappenas, kemiskinan turun di atas 1,5% sudah luar biasa,” katanya.

Irwandi juga menyebut angka pengangguran di Aceh pada pertengahan Agustus 2010 sebesar 8,37%. Sementara inflasi turun menjadi 1,54%, dibanding tahun 2008 sebesar 11,92%. (mrp)

Sabtu, 25 Desember 2010

Perekonomian aceh stagnan

Perekonomian aceh stagnan...
Rendahnya
penyerapan anggaran pemerintah Aceh pada tahun 2009 sangat memprihatikan. Terlebih lagi kebiasaan penyerapan anggaran terjadi pada akhir-akhir tahun. Padahal, pembelajaan pemerintah sangat membantu memacu perekonomian di saat sektor swasta belum bekerja secara optimal. Dalam istilah ekonomi, Stagnan ekonomi terjadi ketika pertumbuhan ekonomi kurang dari 2-3 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun 2008 tanpa minyak dan gas hanya sebesar 1,9 persen saja.

Sementara itu selama tiga periode 2005-2008 terjadi kenaikan harga barang, perumahan dan upah tenaga kerja di Aceh jauh di atas rata-rata nasional. Di tahun 2008, Upah minimum regional di Aceh merupakan tertingggi di Indonesia Rp 1 juta, bandingkan dengan rata-rata nasional Rp 750.ribu. tingginya upah minimum mengakibatkan harga bahan makanan dan perumahan ikut naik. Kenaikan permintaan pada masa proses rekontruksi dan rehabilitasi telah mengakibatkan tingginya angka inflasi di Aceh pada tahun 2005 yang sempat menyentuh angka 10 persen lebih. Dalam istilah ekonomi Inflasi diartikan sebagai kenaikan barang secara umum secara terus menerus.

Kenaikan harga barang dapat disebabkan oleh kelangkaan, atau karena musibah bencana alam. Namun dalam konteks inflasi yang terjadi di Aceh selama periode 2005-2008, penyebabnya karena bertambahnya peredaran uang. Selama proses rekontruksi dan rehabilitasi di Aceh, menunjukan peredaran uang di Aceh meningkat tajam pada periode tersebut yang mengakibatkan semua barang menjadi mahal. Hal ini terbukti dari peningkatan jumlah simpanan masyarakat di perbankan dari Rp 7 triliun di tahun 2004 menjadi Rp 20 triliun di tahun 2008 (Bank Indonesia).

Pasca berakhirnya proses rekontruksi dan rehabilitasi yang menjadi mesin dalam memacu perekonomian di Aceh timbul gejala stagnasi. Ada beberapa gejala stagnasi yang timbul di Aceh setelah berakhirnya mandat BRR bulan April 2009 yang lalu. Pertama, gejala Deflasi. BPS Aceh mempublikasikan bahwa di kota Banda Aceh ibukota Provinsi Aceh terjadi deflasi sebesar 1.30 persen (Serambi Indonesia, 5/01/2010).

Dalam Principle of Economics, tulis N Gregory Mankiw, “deflasi diakibatkan oleh penurunan persedian uang di masyarakat dan disisi lain jumlah barang yang tersedia meningkat”. Hal ini mengakibatkan perekonomian menjadi lesu. Sedangkan Chris Farrell dalam bukunya “Deflation : what happen when prices fall”.

Menyatakan Deflasi adalah salah satu ketakutan dalam ekonomi karena kelebihan produksi, pabrik juga berhenti beroperasi dan banyaknya pekerja yang menanti masa pemutusan hubungan kerja. Deflasi biasanya terjadi setelah terjadi booming ekonomi yang sangat pesat. Sebagai sebuah ilustrasi tentang Deflasi adalah seorang atlet pelari cepat, tetapi tiba-tiba berhenti menjadi penjalan kaki. Hal ini akan mengakibatkan otot-otot kaki menjadi lemah dan lesu serta bisa jadi menjadi lumpuh.

Begitulah analogi kegiatan perekonomian di Aceh tahun 2005-2008, dengan sokongan dana yang mencapai puluhan triliun rupiah dari BRR, Lembaga donor dan pemerintah pusat perekonomian dipacu dengan kecepatan tinggi namun tiba-tiba diperlambat secara drastis di tahun 2009. Perlambatan ini bila tidak diatasi dengan kebijakan ekonomi yang tepat akan berlanjut pada tahun 2010. Perlu diingat bahwa deflasi juga merupakan sebuah peringatan kemungkinan terjadinya resesi.

Kedua, gejala yang terjadi pasca berakhirnya proses rekontruksi dan rehabilitasi adalah penggaguran,memasuki tahun 2009 sebagian besar NGO asing dan lokal mengakhiri masa baktinya di Aceh akibatnya banyak tenaga kerja yang dipesiunkan. Dalam satu survey pasar kerja yang dilakukan oleh Aceh Institute dan ILO disebutkan bahwa apabila tidak dilakukan penanggulan tenaga kerja secara baik maka aka terjadi “booming” penganguran di tahun 2012. Disebutkan bahwa untuk Banda Aceh jumlah angkatan kerjanya mencapai 67.179 jiwa. Sedangkan kesempatan kerja hanya 51.062 jiwa, sehingga terjadi kesenjangan 16.177 jiwa.

Di kabupaten Aceh besar jumlah angkatan kerjanya mencapai 216.036 jiwa, sedangkan lapangan kerja yang tersedia hanya 176.154 jiwa, sehingga terjadi kesejangan 40.157 jiwa. Sementara di kabupaten Pidie dan Pidie Jaya jumlah angkatan kerja mencapai 397.214 jiwa sedangkan jumlah lapangan kerja hanya 118,984 jiwa, atau angkatan kerja yang harus menganggur sebesar 278.231. jiwa (Serambi, 15/07/2009).

Penambahan jumlah tenaga kerja juga terjadi ketika proses reintegrasi para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka ke tengah masyarakat. Para mantan kombatan GAM harus mendapat perhatian dari pemerintah untuk mendapat pekerjaan yang layak setelah mereka kembali ke tengah-tengah masyarakat.

Ketiga, gejala yang muncul dari berkhirnya proses rekontrusi adalah penurunan harga produk pertanian secara dramatis. Para petani coklat, sawit, karet,kopi dan komoditi lainnya sering mengeluhkan penurunan harga secara dramatis ketika musim panen. Berbagai publikasi di harian Serambi Indonesia sering mengwartakan keluhan petani kelapa sawit yang harga jual buah tanda segar (TBS) kelapa sawit turun sangat rendah, begitu juga harga komoditas pinang, coklat, kopi, karet dan lainnya. Hal ini mengakibatkan petani dan pekebun tidak begitu bergairah merawat kebunnya.

Data statistik menunjukan bahwa selama periode 2005 sumbangan produk pertanian, kehutanan dan perikanan terhadap GDP naik dari -3,9 persen menjadi 1,5 persen ditahun 2006 dan menjadi 3,6 persen di tahun 2007, akan tetapi mengalami penurunan di bulan Mai 2008 menjadi hanya 0,8 persen.

Gejala stagnasi ekonomi di Aceh, bermula terjadinya deflasi, tingginya pengangguran dan penurunan harga komoditi pertanian harus diantisipasi oleh pemerintah secara dini. Langah antisipasi ini bertujuan untuk menghindari kejatuhan ekonomi di Aceh dari stagnasi, hingga lebih buruk lagi yaitu resesi ekonomi.

Menurut John M Keynes dalam bukunya “The General Theory of Employment, Interest and Money”, menyebutkan Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengerakan perekonomian yang sedang lesu. Di antaranya, pemerintah membelanjakan anggarannya ke sektor publik seperti infrastruktur seperti pembangunan jalan, sekolah, sarana kesehatan, dan sarana publik lainnya yang memiliki multiplayer effect yang tinggi terhadap usaha lain serta melibatkan banyak tenaga kerja.

Pemerintah harus menghindari menyimpan deposito dalam bentuk surat berharga di perbankan pada tahun 2010 karena investasi ini tidak produktif dan hanya membebani negara dengan bunga SBI. Pemerintah perlu menentukan satu leading sector di Aceh yang memimpin dalam pertumbuhan ekonomi dan mampu menyerap tenaga kerja terbanyak serta mampu berdampak ganda bagi sektor lain. Dengan begitu pembangunan dan sumberdaya akan terfokus.

Berdasarkan publikasi Bank Dunia (Aceh Economic Update), selama periode 2003-2008 komposisi tenaga kerja yang bekerja disektor pertanian mencapai 62 persen ditahun 2003, 60 persen ditahun 2004, 60 persen ditahun 2007, dan 54 persen ditahun 2008. Sektor pertanian merupakan sektor utama bagi perekonomian Aceh. Kontribusi sektor pertanian dari tahun 2001-2006 terhadap PDRB tanpa migas merupakan tertinggi mencapai 37,24 persen-42,88 persen. Disisi lain, bila kita membaca angka kemiskinan, sebanyak 30 persen dari populasi masyarakat yang tinggal di pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan. Ini menunjukkan, bahwa pembangunan sektor pertanian erat kaitannya dengan usaha pemberantasan kemiskinan di perdesaan dimana 70 persen masyarakatnya bermata pencarian sebagai petani.

Untuk membangun ekonomi perdesaan pemerintah memiliki dana alokasi khusus. Pada tahun 2009, Pemerintah Aceh menerima Dana Alokasi Khusus yang mencapai Rp. 3.849. 806.840.000, yang ditujukan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengetasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan (Departemen Keuangan RI).

Dalam rangka dan usaha pembangunan perdesaan dan penyerapan tenaga kerja di tahun 2010, pemerintah daerah dengan Dana Alokasi khusus perlu mempertimbangkan untuk mendirikan Badan Usaha daerah dibidang perkebunan. BUMD ini bertugas mengelola pabrik pengolahan dan perkebunan kelapa sawit milik daerah di Kuala Simpang, Aceh Utara, Aceh Singkil, Nagan Raya dan Aceh Barat. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mempublikasikan kemampuannya untuk membangun pabrik mini kelapa sawit lengkap dengan fasilitas pendukunganya dengan invetasi Rp. 10 Milliar dengan kapasitas produksi 5 Ton Tanda Buah Segar (TBS) per jam. Pendirian pabrik ini akan mampu meningkatkan harga jual petani dan menyerap ribuan tenaga kerja yang terdiri dari sarjana pertanian, sarjana teknik, sarjana pemasaran, hingga masyarakat yang tidak mendapat pendidikan formal untuk bekerja di perkebunan dan pabrik. Usaha ini akan mengerakan sektor lain seperti rumah makan, transportasi, secara langsung maupun tidak langsung dalam proses produksi disetiap pabrik yang akan dibangun (sumber : BPPT RI). Untuk wilayah Aceh Pidie, pemerintah membangun pabrik pengolahan kakao, yang mampu meningkatkan nilai tambah produk kakao menjadi cokelat. Di wilayah Biereun, dilokasi tersebut sangat cocok untuk daerah pengolahan pinang, dan wilayah Aceh tengah, dapat dibangun sebagai daerah budidaya palawija dan tanaman kopi secara intensif.

Langkah antisipatif untuk mengatasi perlambatan perekonomian di Aceh ialah dengan melindungi harga komoditi pertanian. Steven C Blank dalam bukunya “The Economics of American Agriculture : Evolution and Global Development”, menceritakan langkah pemerintah di Amerika untuk mengembangakan agriculture, salah satu poin pentingnya bahwa pemerintah perlu ikut campur dalam proteksi harga.

Presiden Amerika presiden Fraklin D Roosevelt di tahun 1933, pernah mengeluarkan undang-undang Agriculture Adjustment Act (AAA) untuk melindungi para petani dari jatuhnya harga panen. Pemerintah daerah perlu membentuk sebuah badan yang bertugas memantau harga komoditi, mencari investor, membantu permodalan dan mepromosikan hasil panen. Badan ini juga diberi tugas untuk melakukan regulasi menetapkan harga terendah dari komoditi dan apabila tidak apa pedagang yang membeli hasil panen dengan harga tersebut, maka Badan komoditi daerah akan membeli hasil komoditi pertanian ketika harga jatuh. Hal ini akan melindungi petani dari permainan harga ditingkat pedagang pengumpul dan sekaligus memberikan petani gairah dan kepastian dalam usahanya.

Proteksi dan campur tangan pemerintah di dalam mekanisme pasar tidak selama salah, selama bertujuan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat bukan untuk tujuan monopoli. Perdamaian yang telah dibangun merupakan sebuah jembatan emas untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera di Aceh. Tim ekonomi gubernur yang dipimpin oleh ketua Bappeda yang baru dilantik memiliki tanggungjawab yang besar untuk menangulangi gejala stagnasi pertumbuhan ekonomi di Aceh pasca berakhirnya proses rekontruksi dan rehabilitasi di Aceh.

* Penulis adalah dosen Universitas Teuku Umar, mahasiswa Master Economics Texas A &M University, USA.

Perekonomian Aceh tumbuh

Triwulan II 2010, Ekonomi Aceh Tumbuh 2,82%

Kamis, 5 Agustus 2010 - 20:35 wib
Salman Mardira - Okezone
Foto: Koran SI

BANDA ACEH – Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat pertumbuhan ekonomi Provinsi itu pada triwulan II 2010 mencapai 2,82 persen.

Angka itu dihitung berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tanpa minyak dan gas alam (Migas) dan tercatat lebih baik dari triwulan sebelumnya yang hanya 1,30 persen.

Menurut Kepala BPS Aceh Syech Suhaimi, ada tiga dari sembilan sektor ekonomi di Aceh yang berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi tanpa migas di triwulan ini dengan nilai PDRB tinggi di atas 2,45 persen.

“Yaitu sektor perdagangan, hotel restoran, sektor listrik dan air bersih, serta pertanian,” kata dia di Banda Aceh, Kamis (5/8/2010).

Dibanding triwulan lalu, pertumbuhan ekonomi Aceh tanpa migas di triwulan ini lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi dihitung dengan komponen migas yang hanya 2,45 persen.

Suhaimi menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Aceh dengan migas turun karena produksi migas Aceh terus menyusut tiap tahun.

BPS Aceh mencatat, nilai PDRB Provinsi itu dengan migas atas dasar harga berlaku di triwulan II 2010 mencapai Rp19,27 triliun, sedang atas harga konstan 2.000 Rp8,33 triliiun.

Sementara PDRB tanpa migas di triwulan sama atas dasar harga berlaku mencapai Rp16,26 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 2.000 sebesar Rp7,27 triliun

Masa ekonomi Indonesia

SBY : Indonesia Jadi Kekuatan Ekonomi Dunia 2025

Presiden SBY. ANTARA/Nyoman Budhiana

TEMPO Interaktif, SURABAYA - Kuliah umum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, hari ini, Selasa (14/12) banyak berisikan materi ekonomi ketimbang teknologi. Bertemakan "Teknologi, Ekonomi dan Masa Depan Indonesia", SBY mengungkapkan soal kemajuan Indonesia selama dia pimpin.

Misalnya, SBY mengutip hasil tulisan di sejumlah media asing dan hasil riset beberapa lembaga yang mengatakan kemajuan Indonesia paska kepemimpinan SBY. "Perkapita kita lima tahun lalu hanya Rp 1200 sekarang sudah meningkat menjadi Rp 3000. Kalau yang ini tidak dilarang tepuk tangan," kata Presiden SBY disambut tepuk tangan.

Tak hanya itu, Presiden juga mengutip beberapa analisis yang menyatakan perekonomian Indonesia terbukti sangat kokoh dan mampu menghindari terjangan krisis ekonomi.

Dalam kuliahnya ini, SBY memulainya dengan sebuah pertanyaan "Masa depan Indonesia seperti apa yang akan kita tuju ?". Jawabannya menurut SBY: "Pada 15 tahun yang akan datang paling lambat tahun 2025, saya yakin Indonesia akan menjadi "emerging economic".

Langkah ini akan terjadi dan sebelum abad 21 berakhir, SBY yakin Indonesia akan menjadi salah satu negera maju. "Meski masih 90 tahun lagi abad 21 selesai, tapi kita tidak harus menunggu selama itu, Indonesia akan menjadi negara maju," kata dia.

Kemajuan yang akan diraih, tidak hanya dibidang ekonomi, melainkan juga harus maju dibidang inovasi, hukum juga demokrasi. Kekuatan pertahanan dan diplomasi diakhir abad 21 dipastikan juga akan lebih maju lagi. "Tahap awal, 2025 kita akan jadi emerging ekonomi seperti cina," tambahnya.

Keyakinan ini, menurut dia karena Indonesia menganut sistem ekonomi tebuka, berkeadilan dan ramah terhadap lingkungan. Untuk menunjang hal ini, Presiden berharap ekonomi Indonesia bisa kuat, imbang, dan bisa dirasakan oleh masyarakat bawah.

Dengan kekuatan 237 juta jiwa penduduk, Indonesia kini tak akan lagi mengandalkan ekspor, cukup dengan memberdayakan kecintaan terhadap produk dalam negeri.

Sementara itu, selain memberikan kuliah umum, Presiden dalam acara itu juga menyempatkan diri membuka dua gedung baru ITS masing-masing gedung robotika dan gedung pusat energi ITS. Tak hanya itu, SBY juga berkesempatan melakukan teleconveren dan membuka Forum Inovasi Indonesia yang diadakan di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Selain dihadiri Presiden dan Ibu Negara Ani Yudhoyono, acara ini juga dihadiri beberapa menteri diantaranya Menteri Pendidikan M Nuh, Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar, Menkominfo Tifatul Sembiring, Menpora Andi Malarangeng, serta Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Setelah dari ITS, SBY hari ini dijadwalkan akan mengunjungi Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Swasta di Krian Sidoarjo.

Kekuatan Ekonomi Dunia Islam

Kekuatan Ekonomi Dunia Islam

3022009

Berapa besar kekuatan umat Islam jika bersatu? Sanggupkah Dunia Islam menghadapi adidaya Amerika Serikat? Dapatkah Dunia Islam bertahan jika diembargo? Mampukah Dunia Islam menang dalam perang? Inilah di antara sejumlah pertanyaan yang kadang hinggap di benak kaum Muslim jika melihat peta dunia saat ini. Kita memang memiliki beberapa keunggulan seperti keunggulan akidah, syariah, posisi geografis, sumberdaya alam, dan jumlah penduduk. Namun demikian, secara empiris berapa sebenarnya kekuatan itu?


Data Dunia Islam

Di antara lembaga yang mengumpulkan data seperti itu adalah Statistical, Economic, and Social Research & Training Center for Islamic Countries(SESRTC) di Turki. Data yang dikumpulkan dapat diakses melalui alamat:www.sesrtcic.org/statistics/byindicators.php. Meski sudah menolong, database ini belum lengkap ataupun 100% akurat. Ada peluang over atauunder-estimated. Informasi di negeri-negeri Islam memang langka atau simpang-siur. Banyak pemerintah yang menutup-nutupi informasi dengan berbagai motif. Oleh sebab itu, data di sini harus dipandang sebagai taksiran atau pendekatan awal. Untuk menjembatani beberapa negara yang datanya tidak tersedia, dalam mengolah data ini kadang-kadang dipakai angka maksimum atau rata-rata dari data beberapa tahun terakhir.

Dewasa ini ada 57 negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam(OKI). Negara-negara ini dijuluki “Dunia Islam”, karena penduduknya mayoritas atau 50% lebih Muslim. Jadi, sekitar 148 juta Muslim India (13,4% populasi) dan 26 juta Muslim Cina (2% populasi) belum terhitung.

Menurut CIA the World Factbook dalamhttp://en.wikipedia.org/wiki/Economy_of_the_OIC, produk domestik bruto (GDP) Dunia Islam adalah US$ 5,54 triliun US$ pertahun atau setara dengan 9,14% GDP dunia. Sebagai perbandingan, GDP Uni Eropa atau AS adalah sekitar 12 triliun US$.
Jika dibagi dengan penduduknya yang pada 2005 ditaksir 1,24 miliar didapatkan GDP/kapita sebesar US$ 4.454/tahun; atau dengan kurs sekarang berarti setara dengan Rp 3,3 juta/orang perbulan. Namun, distribusi harta ini amat tidak merata. GDP/kapita tertinggi diraih Uni-Emirat Arab (US$ 45.200/tahun atau Rp 34 juta/bulan) dan terendah di Somalia (US$ 600/tahun (Rp 450.000/bulan).

Luas wilayah 57 negara OKI ini adalah 32 juta km2, lebih luas daripada AS atau Uni Eropa. Kepadatan penduduk rata-ratanya adalah 38 orang perkilometer persegi. Kepadatan tertinggi ada di Bahrain yang hanya merupakan “negara kota”, yaitu 1055 jiwa perkilometer persegi, diikuti Maladewa (933), Bangladesh (817) dan Palestina (626). Mereka harus berdesakan di tempat yang sempit, padahal bumi Allah sangat luas.
Memang, area luas ini baru bermakna jika produktif. Di satu sisi banyak bumi Islam itu berupa gurun pasir yang belum dihidupkan. Karena itu, sejumlah indikator vital perlu ditinjau, seperti produksi minyak, bahan pangan, baja dan sebagainya.

Indikator Produk Vital

Barangkali untuk analisis ekonomi yang komprehensif diperlukan seluruh parameter dalam statistik. Namun, mengingat tidak untuk setiap item tersedia data di seluruh negara serta belum adanya pembobotan yang disepakati, maka dipilih produksi minyak mentah sebagai sumber energi utama (meski di sejumlah negara tersedia sumber energi lain), lalu biji-bijian dan daging sebagai bahan pangan, dan baja untuk indikator industrialisasi.

Produksi minyak mentah tahun 2004 total sekitar 9,2 miliar barel pertahun. Kalau ini dibagi populasi, akan didapat angka 3,2 liter perorang perhari. Sekadar pembanding, di Indonesia saat ini, yang penggunaan energinya belum efisien, konsumsi BBM masih sekitar 0,82 liter perorang perhari.

Sementara itu, produksi biji-bijian makanan pokok adalah 240,3 juta ton. Kalau dibagi populasi, didapat angka 0,529 kg perorang perhari. Meski ini masih di bawah kebutuhan rata-rata (menurut FAO), yakni 750 gram perorang perhari, insya Allah ancaman kelaparan tidak terjadi. Apalagi teknologi pertanian masih bisa ditingkatkan dan umat Islam biasa berpuasa.

Produksi daging ditaksir 19,5 juta ton. Kalau ini dibagi dengan populasi, akan didapat angka 15,7 kg daging perorang pertahun, atau 42 gram perorang perhari. Ini adalah angka yang lumayan untuk komposisi gizi harian, mengingat sumber protein kita seharusnya bervariasi antara daging, ikan, unggas atau nabati.

Setelah energi dan pangan, baja adalah produk vital yang menjadi modal dasar industri dan konstruksi. Produksi baja di Dunia Islam ditaksir baru 60 juta ton pertahun. Jika setengahnya dipakai untuk konstruksi (gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik & telekomunikasi), mesin pabrik, kereta api, kapal dan persenjataan, lalu setengahnya untuk memproduksi mobil berbobot rata-rata 2 ton, maka ini baru menghasilkan 15 juta mobil. Angka yang kecil untuk 1,2 miliar populasi. Sebab, jika satu keluarga rata-rata terdiri dari 4 orang, akan ada 300 juta keluarga. Jadi, baru setelah 20 tahun setiap keluarga itu akan memiliki mobil baru.

Kalau cerdas, keterbatasan produksi itu malah mendorong inovasi agar efisien, misal dengan transportasi massal kereta super ringan, atau menggalakkan sepeda yang selain hemat juga baik untuk kesehatan.

Kenyataannya, saat ini sumberdaya negeri-negeri Islam banyak diekspor, sering dengan nilai tukar amat rendah karena kandungan teknologinya rendah. Contoh, tahun 1980, sebuah negeri Muslim menukar 12.910 karung kopi untuk satu lokomotif dari Swiss. Tahun 1990, untuk lokomotif serupa mereka harus menukar 45.800 karung!

Neraca perdagangan Dunia Islam sebenarnya positif (1042,9 miliar US$ ekspor-733,7 miliar US$ impor). Namun, dari jumlah ini, yang merupakan ekspor ke sesama Dunia Islam hanya 113 miliar US$ dan impor 118 miliar US$. Jadi, ketergantungan Dunia Islam keluar sangat besar. Jika ini dibiarkan, ia akan menjadi kendala saat kesatuan Islam di bawah Daulah Khilafah diserukan dan lalu diembargo dari luar.

Sumber Daya Non-Tangible

Selain sumberdaya yang terukur dalam bentuk materi, terdapat sumberdaya non-tangible yang tak dapat langsung terukur, misalnya SDM terdidik, organisasi (jejaring) dan informasi (pengalaman) yang terkumpul. Sumberdaya ini terukur dengan melihat data penduduk melek huruf, rasio yang masuk perguruan tinggi, bagian pemerintah pada penciptaan GDP dan distribusi penghasilan.

Angka melek huruf pada orang dewasa di Dunia Islam baru 69%! Ini pun masih dengan bahasa nasional masing-masing (Arab, Persi, Urdu, Turki, Perancis, Rusia, Melayu, dll.). Adapun rasio yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi baru 15% dari lulusan SLTA. Ini pun masih di luar soal mutu asal-asalan dari pendidikan sekular yang kapitalistik.

Bagian pemerintah dalam penciptaan GDP menggambarkan tingkat partisipasi rakyat pada aktivitas ekonomi. Makin tinggi sharing pemerintah, makin rentan ekonomi negeri itu pada gejolak. Idealnya, pemerintah bertindak mengatur urusan umat dengan syariah, bukan sebagai pelaku bisnis yang bertindak dengan pertimbangan ekonomi. Di Dunia Islam, pemerintah rata-rata masih berperan hingga 35% dalam aktivitas ekonomi. Ekonomi Sudan atau Guyana yang dilanda perang bahkan praktis 100% mengandalkan pemerintah. Pemerintah Brunei memegang 84% GDP, karena produk utamanya minyak—semua milik raja yang memerintah.

Dalam hal ekonomi terkait SDA yang besar seperti minyak, angka-angka statistik boleh jadi akan rancu antara pemerintahan feodalistik, sosialistik dan Islami; sementara minyak masuk kepemilikan umum yang harus dikelola pemerintah, namun bukan terus dibisniskan.

Partisipasi rakyat juga terlihat pada distribusi penghasilan. Kalau menggunakan batas miskin tiap negara, angka kemiskinan rata-rata adalah 38,65%. Namun, jika menggunakan standar Bank Dunia, yaitu US$ 2 perorang perhari, maka 50% jatuh di bawah garis (UNDP Human Development Report 2006). Yang terparah adalah Nigeria (92,4%) dan yang terbaik Iran (7,3%).

Menyatukan Ekonomi Dunia Islam

Dengan berbagai cara, ekonomi Dunia Islam ini telah berkali-kali dicoba disatukan. OKI telah gagal. Pakta Selatan-Selatan—yang melibatkan negara-negara Amerika Latin—pun gagal. Percobaan terakhir adalah dengan Lelompok D-8 (Development-Eight) yang terdiri dari Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Mesir, Nigeria, Pakistan dan Turki. Realitasnya, pengaruh D-8 ini bahkan lebih kecil daripada kelompok semacam ASEAN, apalagi terhadap G-8, yakni negara-negara industri maju (AS, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Itali, Jepang dan Rusia) yang memegang 65% ekonomi dunia. Penyebab kegagalannya terlalu banyak, mulai dari ego-nasionalisme tiap negara, para pemimpinnya yang tidak benar-benar kapabel maupun independen (menjadi boneka negara besar), hingga produk antar negara yang terlalu mirip sehingga tidak saling melengkapi.

Tanpa suatu perubahan yang fundamental dalam cara berpikir di Dunia Islam, yaitu cara berpikir tentang visi dan missi negeri mereka di dunia, rasanya sulit akan ada sinergi dari penyatuan ekonomi Dunia Islam. Dengan perubahan paradigma itu akan ada upaya-upaya di masyarakat tiap negeri untuk tak sekadar jadi ”lahan” negara-negara maju, tetapi jadi agen perubahan ke dunia yang diridhai Allah. Perlahan namun pasti mereka mereformasi cara berpikir, bersikap serta ikatan-ikatan yang selama ini menjadikan mereka berbangsa dan bernegara.

Kemudian, suatu negara yang masyarakat dan kekuatan politik-militernya paling siap, akan memimpin mendeklarasikan berdirinya negara baru, Daulah Khilafah. Negara pada saat awal akan menunjukkan kinerjanya sebagai negara yang adil dan benar-benar merdeka, sambil mengajak negeri-negeri Muslim lain untuk bergabung. Ketika rakyat negeri lain melihat bahwa dengan bergabung itu terbuka peluang luas untuk berkehidupan yang lebih baik, maju dan kuat sehingga mampu memimpin dunia, mereka akan mendesak pemerintah masing-masing untuk bergabung ke Daulah Khilafah.

Satu demi satu negeri Islam akan masuk ke dalam Khilafah, seperti dulu bergabungnya daerah-daerah Hindia Belanda ke Republik Indonesia, atau kini bergabungnya negara-negara Eropa ke Uni Eropa. Kekuatan Dunia Islam yang bersatu di bawah Daulah Khilafah akan jadi realita, bahkan lebih besar lagi, jika sistem Islam telah mengoptimasi pengaturan seluruh potensi alam maupun manusia di dalamnya, serta Muslim-muslim terbaik yang selama ini ada di negara-negara maju ramai-ramai pulang untuk membaktikan dirinya demi kemuliaan Islam dan kaum Muslim.


Kamis, 23 Desember 2010

Hutang Luar Negeri dan masa depan ekonomi indonesia

Pada dasarnya semua orang berat untuk berhutang, demikian juga dengan negara. Karena untuk melakukan hutang tidak saja melihat kemampuan untuk mengembalikan, tapi paling tidak juga menanggung rasa malu dan korban perasaan. Namun demikian, hutang sudah menjadi hal yang lumrah dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Khusus Indonesia, jelas bahwa hutang luar negeri bertambah lagi sebesar 3,14 milliar US$ dan jika ditambah dengan hibah sebesar 500 juta US$ berarti sudah hampir mendekati keinginan pemerintah untuk mendapat 3,7 milliar US$ setelah di setujuinya perjanjian baru hutang luar negeri Indonesia baru-baru ini.
Akan tetapi persoalannya adalah penambahan hutang baru kali ini menimbulkan pro dan kontra. Analisis hutang LN berkembang tidak saja pada berapa angka yang tercapai, tetapi cenderung pada keinginan untuk lepas dari kendali hutang, yang secara tidak langsung mengisyaratkan untuk lepas dari kendali berlebihan pihak luar negeri.

Hutang Luar Negeri Indonesia

Mengenai hutang LN ini, tuntutan banyak pihak adalah segera mungkin lepas kaitan Indonesia dengan IMF. Keinginan tersebut dalam jangka pendek jelas sangat sulit terealisasikan. Sulit bagi Indonesia untuk melepaskan keterkaitan dengan IMF dan kawan-kawannya begitu saja. Meskipun disadari bahwa hutang LN kian tidak masuk akal bagi Indonesia. Namun demikian haruslah juga di pertimbangkan bahwa perekonomian Indonesia haruslah berputar. Perputaran ekonomi Indonesia sangat dipengaruhi oleh kepercayaan luar negeri yang dalam hal ini diindikasikan dengan kepercayaan IMF terhadap Indonesia. Semakin IMF tidak percaya dengan Indonesia, berakibat seretnya investasi asing masuk. Kondisi ini yang paling relevan dengan keadaan sekarang. Disamping itu dengan masih menjalin hubungan dengan IMF berarti ada kemungkinan untuk mendapat kelonggaran penjadwalan utang kembali. Meskipun ada juga konsekuensi lain jika terjadi putus hubungan dengan IMF adalah kita hidup kembali ke tahun 70-an atau 80-an, seperti pengalaman Mexico. Pertanyaannya adalah, beranikah dengan bangsa Indonesia? Suatu pertanyaan yang sulit terjawab. Karena tidak saja merupakan permasalah ekonomi tapi cenderung pada akibat sampingan dari pada itu. Dampak sosial yang ditanggung harus tidak luput dari pengamatan. Namun demikian tidak berarti tidak ada jalan tengah.
Saya pribadi tidak setuju dengan penambahan hutang LN dan sedikit curiga dengan ‘niat baik’ mereka memberi hutang terus menerus. Sebenarnya tawaran hutang dari luar negeri tidak harus selalu diterjemahkan sebagai bentuk kepercayaan asing terhadap Indonesia, karena secara ekonomis beban hutang yang ditanggung rakyat sudah sedemikian besar. Konyolnya lagi modal asing yang masuk justru merusak kepentingan nasional karena hanya mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam semata, tapi tidak memberi kompensasi yang memadai, seperti transfer teknologi dan pengetahuan bagi tenaga kerja Indonesia. Selain itu hutang yang diberikan negara donor pada dasarnya satu instrumen untuk mempertahankan sistem kapitalis yang dibangun.Hutang LN dapat diartikan sebuah perangkap berkepanjangan bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Lebih parah lagi, dengan melihat faktor psikologis masyarakat negara sedang berkembang, ada satu kecenderungan negara kapitalis dengan berbagai cara untuk memelihara sifat konsumtif masyarakat negara berkembang. Dengan demikian devisa ekspor yang seharusnya digunakan untuk membayar hutang, justru menguap untuk membiayai impor barang-barang konsumsi. Sebenarnya langkah pemerintah yang bijak adalah bukan menambah hutang melainkan pemerintah melakukan pelunasan hutang luar negeri secara subtansial. Karena ditengah krisis ekonomi global yang ditandai dengan menurunnya konjungtur ekonomi negara kreditur sangat sulit untuk mendapatkan hair cut. Apalagi dipercepat oleh tragedi WTC dan serangan AS ke Afganistan. Upaya pemerintah untuk mendapat hair cut dari Jepang jelas telah di tolak seiring dengan krisis ekonomi yang melanda negeri itu. Selain itu upaya lain semisal debt swap for nature atau debt to property swap tidak mendapat sambutan dari negara kreditur.
Namun demikian sudah jelas hutang baru sudah didapat. Puas atau tidak puas dana akan mengalir ke Indonesia. Yang tidak kalah penting adalah tidak mengulang episode lama yaitu hutang sebagai lahan korupsi. Untuk itu perlu upaya untuk menggerakan elemen masyarakat dalam ikut serta mengawasi penggunaan hutang luar negeri secara benar sehingga meningkatkan perekonomian secara makro.

Masa Depan Ekonomi Indonesia

Bagaimanapun juga ekonomi Indonesia harus tetap jalan, meskipun masa depan ekonomi Indonesia sangat sulit diprediksi dan masih mengkhawatirkan. Melihat kondisi diatas maka mau tidak mau, rujukan yang harus segera di mulai adalah memperkuat APBN. Tidak bisa tidak, jika kita ingin keluar dari kemelut hutang LN syarat utamanya adalah kemandirian dalam anggaran belanja negara dan konsistensi kebijakan pemerintah. Saat sekarang memang sangat sulit terpenuhi, tapi minimal kebijakan kearah sana harus sudah di mulai. Untuk menyatakan putus hubungan dengan IMF dan Bank Dunia, Indonesia harus mampu menyediakan devisa negara yang cukup besar untuk menutup anggaran belanja negaranya.
Dan jelasnya sangat berat, karena kebijakan akan mengarah pada penggalian potensi keuangan dalam negeri disamping merampingkan anggaran atau penghematan besar-besaran. Peningkatan pajak dan dan obligasi pemerintah bisa jadi akan menjadi tumpuan. Hanya dengan cara inilah minimal ketergantungan kita terhadap IMF sedikit dapat berkurang. Namun demikian kebijakan mengali potensi dalam negeri ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Perangkat pajak yang belum berjalan efektif menjadi kendala tersendiri. Administrasi perpajakan yang belum tertata rapi menimbulkan kesimpangsiuran begitu rupa. Dana-dana yang masuk ke kas negera tidak jelas juntrungannya, disamping tidak ada mekanisme kontrol yang efektif. Kesadaran masyarakat membayar pajak masih rendah, meskipun demikian ini bukan kesalahan rakyat semata. Banyak departemen yang masih memiliki Debt Account atau lebih populer dengan dana non budgeter. Menggali dana dalam negeri lewat instrument obligasi pemerintah juga satu alternatif, namun sayangnya sampai sekarang juga belum mampu berjalan efektif. Bahkan jika obligasi pemerintah tidak dikelola dengan baik akan menjadi boom waktu dimana bencana fiskal akan terjadi di masa datang. Apalagi dalam kaitannya dengan hutang LN. Jatuh tempo obligasi pemerintah bisa menjadi malapetaka ke dua. Pertama, meskipun re-financing dimungkinkan akan tetap memicu terjadinya lonjakan tingkat bunga pasar. Kedua, kemungkinan terjadinya ‘crowding out effect’ di sektor swasta dipasar finansial. Ketiga, dimungkinan terjadi tekanan pada APBN, sebagai akibat dari jatuh tempo pembayaran pokok hutang. Ini yang harus juga di waspadai.
Selain itu mengerakkan roda sektor riil dalam negeri sudah harus digalakkan kembali. Untuk itu sektor riil sangat membutuhkan propaganda dan konsistensi dari pemerintah mengenai rincian kebijakan ekonomi nasional. Pelaku usaha memerlukan panduan dalam menjalankan usahanya. Tanpa kejelasan dari pemerintah, dikhawatirkan pelaku usaha mendapat kesan pemerintah mengesampingkan pelaku usaha nasional dan cenderung memperhatikan investor asing. Satu pekerjaan besar bagi pemerintahn untuk memutar sektor riil. Akhirnya semua harus dimulai dari kesadaran betapa rentan dan berbahaya kondisi ekonomi Indonesia dimasa datang. Beban ini tidak saja ditanggung pemerintah tapi juga harus menjadi kesadaran nasional untuk tidak terjerumus kembali ke krisis ekonomi untuk kedua kalinya. Semoga!

AFTA: Tantangan dan ancaman bagi perekonomian

Perayaan pergantian tahun menuju 2010 telah usai. Negara-negara Asia Tenggara menyambut 2010 dengan berbagai kekhawatiran, karena pada saat itulah pasar bebas melanda di seantero Asia Tenggara. Negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, sedang bersiap-siap mengantisipasi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi menyusul implementasi penuh kesepakatan perdagangan bebas antar anggota ASEAN yang ternyata bertambah satu negara non-anggota, yaitu China.

AFTA+CHINA 2010 menimbulkan penentangan dari berbagai kalangan, khususnya mereka para pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia. Hal ini dikarenakan UKM merupakan salah satu pihak yang paling di rugikan dengan adanya AFTA China.


Kekhawatiran para pelaku UKM sangatlah beralasan, karena dengan adanya pasar bebas ini dipastikan produk China akan membanjiri pasar di seluruh Indonesia, dan itu artinya produk-produk dari dalam negeri khususnya produk-produk UKM akan dipaksa untuk bersaing dengan produk-produk China yang terkenal dengan harga yang sangat murah dengan kualitas yang cukup bagus. Padahal, dunia UKM Indonesia belum memiliki kesiapan yang cukup untuk ‘bertarung’ dengan kehadiran produk China tersebut.


Sebelum diberlakukanya perdagangan bebas saja, produk China sudah membanjiri pasar indonesia, dapat dibayangkan kondisi yang terjadi saat pasar bebas benar-benar di berlakukan di Indonesia di tahun 2010 ini, tentu benar-benar akan memberikan ancaman bagi para pelaku usaha dalam negeri khususnya UKM.


AFTA China menimbulkan dua pandangan yang berbeda. Di satu sisi, hal ini bisa menjadi ancaman, di sisi lain, ini bisa dijadikan sebagai sebuah tantangan untuk dunia usaha di Indonesia agar meningkatkan kualitas dan persaingan harga yang ditawarkan produk Indonesia. Namun, kekhawatiran akan ancaman yang ditimbulkan AFTA China, lebih mengemuka dan menjadi prahara yang menakutkan dunia usaha kecil dan menengah di Indonesia.

Mengenai AFTA dan Regionalisasi ekonomi di Asia tenggara

Pada tahun 1980-an, serangkaian perubahan fundamental melanda dunia, antara lain munculnya lingkungan ekonomi dunia yang kompetitif yang mengakibatkan perubahan cepat menuju ekonomi berorientasi pasar khususnya di negara-negara Eropa pecahan Uni Soviet dan juga di Asia yang ditandai dengan adanya reformasi ekonomi melalui privatisasi, deregulasi dan liberalisasi; terjadinya revolusi teknologi informasi yang memungkinkan peningkatan secara luar biasa traksaksi perdagangan dan saling ketergantungan antar negara di dunia ; dan meningkatnya regionalisasi yang ditandai dengan munculnya pengaturan perdagangan dan investasi dalam lingkup regional di berbagai belahan dunia.

Bersamaan dengan itu, negara-negara Asia secara umum mulai menerima prinsip-prinsip liberalisasi yang disertai dengan meningkatnya tekanan strategi pembangunan yang berbasis daya tarik bagi investasi asing langsung serta munculnya kesadaran di kalangan para pemimpin ASEAN untuk memperkuat kerja sama ekonomi guna menghadapi tekanan komparatif dari luar kawasan. Berbagai kecenderungan tersebut kemudian mendorong para pemimpin negara Asia, khususnya negara-negara anggota ASEAN, untuk mendirikan suatu organisasi ekonomi regional di Asia tenggara.

Melalui rangkaian negosiasi panjang, pada Millenium Summit ke-4 ASEAN di Singapura tahun 1992, ASEAN yang saat itu masih beranggotakan 6 negara (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) sepakat membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN Free Trade Area (AFTA) dalam rentang waktu 15 tahun dimulai sejak 1 Januari 1993. Vietnam yang bergabung dengan ASEAN pada tahun 1995 disusul oleh Laos dan Myanmar dua tahun kemudian serta Kamboja pada tahun 1999 secara otomatis tergabung dalam keanggotaan AFTA bersamaan dengan masuknya mereka ke organisasi regional tersebut. Meskipun pada mulanya pelaksanaan kesepakatan AFTA ditargetkan akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), target ini kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.

AFTA merupakan bentuk kesepakatan negara-negara Association of South East Asia Nations (ASEAN) untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan ASEAN dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN dengan tujuan meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN, melalui skema CEPT-AFTA.

Kesepakatan yang diratifikasi sepuluh negara anggota organisasi regional ini, menjalankan startegi kebijakan bersama dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar potensial bagi 500 juta penduduknya. Dengan kata lain, dengan diberlakukannya AFTA, negara-negara ASEAN dapat menarik investasi sebesar-besarnya dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN.

Untuk memudahkan pencapaian tujuannya, AFTA menyusun Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) yang merupakan suatu mekanisme kebijakan perdangangan bersama yakni penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif, dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.

Komitmen negara-negara ASEAN dalam CEPT-AFTA bersifat mengikat secara hukum, artinya perjanjian CEPT telah di ratifikasi oleh negara-negara anggota ASEAN dan penurunan tarif telah diberlakukan secara resmi. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunei Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand, dan bagi Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.

Ada empat daftar yang disusun mengenai klasifikasi produk dalam CEPT, yaitu :

  1. Inclusion List (IL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang memenuhi kriteria : masuk dalam jadwal penurunan tarif; tidak dikenakan pembatasan kwantitatif; dan hambatan non-tarifnya harus dihapuskan dalam waktu 5 tahun.
  2. General Exception List (GEL), yaitu daftar produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara karena dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, nilai barang-barang seni, bersejarah atau arkeologis. Ketentuan mengenai General Exceptions dalam perjanjian CEPT konsisten dengan Artikel X dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Contoh : senjata dan amunisi, narkotik, dsb.
  3. Temporary Exclusions List (TEL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT. Produk-produk dalam TEL tidak dapat menikmati konsensi tarif CEPT dari negara anggaota ASEAN lainnya dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk-produk yang tercakup dalam ketentuan General Exceptions.
  4. Sensitive List, suatu daftar yang berisi produk-produk pertanian bukan olahan (Unprocessed Agricultural Products = UAP ), seperti bahan baku pertanian dan produk-produk yang telah mengalami perubahan bentuk sedikit dibanding bentuk asalnya, seperti beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, cengkeh.

Selain itu, terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi oleh suatu produk untuk dapat masuk dalam konsensi CEPT yaitu harus sudah masuk dalam Inclusion List (IL) dari negara eksportir maupun importir, mempunyai program penurunan tarif yang disetujui oleh Dewan AFTA (AFTA Council), dan harus memenuhi persyaratan kandungan lokal 40%, artinya suatu produk dianggap berasal dari negara anggota ASEAN apabila paling sedikit 40% dari kandungan bahan didalamnya berasal dari negara anggota ASEAN.

Sebagai catatan, AFTA 2002 hanya mencakup pembebasan arus perdagangan barang. Mengenai kebebasan keluar masuk sektor jasa atau liberalisasi sektor jasa, misalnya arus perpindahan tenaga di negara-negara ASEAN, di atur sendiri dengan kesepakatan yang di sebut ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), dimana liberalisasinya ditargetkan tercapai pada tahun 2020.

Ancaman dan Tantangan AFTA China 2010 bagi Indonesia

AFTA ASEAN-China yang dimulai tanggal 1 Januari 2010 mendatangkan kekhawatiran dari kalangan masyarakat dan pelaku UKM. Kekhawatiran itu muncul karena ancaman bangkrutnya dunia usaha lokal yang disinyalir tidak mampu bersaing dengan banjirnya produk-produk China yang terkenal murah dan berkualitas cukup baik. Ancaman tutupnya pabrik-pabrik lokal menimbulkan momok pemutusan hubungan kerja dan meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Pemerintah sendiri mengungkapkan kekhawatiran tersebut, dengan memperkirakan penerimaan negara dari bea dan cukai akan menurun di tahun 2010.

Dirjen Bea dan Cukai Anwar Suprijadi mengatakan, Indonesia belum siap menerapkan AFTA China hasilnya adalah selain menimbulkan potensial loss di penerimaan negara, AFTA juga akan menggangu industri, termasuk petani dalam negeri dengan gempuran produk impor terutama dari China, seperti buah-buahan. Ia juga menyatakan, pemerintah sampai saat ini masih melakukan evaluasi terhadap penerapan AFTA ASEAN-China.

Di luar tujuannya yang ingin meningkatkan daya saing perekonomian kawasan ASEAN, ada hal penting yang seharusnya menjadi perhatian dan pertimbangan dalam menerapkan AFTA, khususnya di Indonesia, yakni mengenai kesiapan para pelaku usaha kecil dan menengah di dalam negeri yang belum memiliki kualitas dan kemampuan bersaing dalam produk-produk mereka. Dengan kondisi ini, penerapan AFTA China pada tahun 2010 akan menjadi merupakan pukulan telak dalam dunia usaha Indonesia. Sebelum diberlakukannya AFTA China, produk-produk Indonesia sudah kewalahan bersaing dengan banjirnya produk China yang murah harganya dan berkualitas cukup baik. Lantas, bagaimana jika AFTA China benar-benar sudah diberlakukan? Ini tentu menjadi sumber kekhawatiran terbesar bagi dunia usaha Indonesia saat ini.

Bagi sebagian kalangan dunia usaha yang memiliki kualitas dan manajemen usaha yang baik, AFTA dapat dijadikan tantangan dan pengujian atas produk mereka: apakah mereka bisa bersaing secara sehat dengan produk-produk dari China; apakah mereka bisa mengungguli segala ‘kebaikan’ yang ditawarkan dari produk China?. Sisi positifnya adalah, pelaku usaha akan menjadikan pasar bebas ini sebagai semangat dan modal yang memotivasi mereka untuk selalu meningkatkan kualitas dan mempertimbangkan harga produk yang terjangkau oleh konsumen.


Namun, pada kenyataannya, sebagian besar pelaku usaha di Indonesia, terutama kecil dan menengah, belum siap dengan adanya pasar bebas yang diusung AFTA China. Dunia usaha kecil dan menengah masih dibelit dengan persoalan permodalan, pemasaran, sampai manajemen usaha yang dikelola dengan keterbatasan kemampuan dan kurangnya arahan dari pihak pemerintah yang bisa meningkatkan kelancaran usaha mereka.

Menjawab Tantangan dan Ancaman AFTA China 2010

Melihat kondisi dunia UKM Indonesia dan kenyataan diberlakukannya AFTA 2010, dapat disimpulkan bahwa menyikapi datangnya pasar bebas sebagai ancaman atau tantangan akan tergantung dari kesiapan atau tidak kesiapannya para pelaku usaha di dalam negeri. Karena ketika pelaku usaha dalam negeri sudah kuat dan menghasilkan produk berkualitas terbaik dengan harga yg murah dan terjangkau, pasar bebas tidak lagi perlu dikhawatirkan. Yang dibutuhkan adalah, upaya-upaya peningkatan mutu produk UKM sehingga masyarakat Indonesia tidak kecewa dengan produk yang mereka beli dari negerinya sendiri.

Siap tidak siap, AFTA China 2010 telah diberlakukan. Meski sekarang tidak banyak waktu untuk berbenah diri dan bersiap menghadapi gelombang pasar bebas ini, masih ada yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi dampak merugikan dari AFTA China. ‘Dukung Produk Indonesia’ mungkin adalah jargon yang tepat dalam menghadapi AFTA 2010. Solidnya kerjasama dan koordinasi dari pelaku usaha kecil dan menengah, pemerintah, dan masyarakat konsumen Indonesia sangat dibutuhkan jika rakyat tidak ingin terancam pengangguran besar-besaran akibat matinya dunia usaha lokal. Pemerintah perlu mengeluarkan bantuan dan pinjaman dana khusus untuk pelaku usaha kecil dan menengah, dengan bunga sekecil-kecilnya, dan juga pelatihan-pelatihan dan bimbingan peningkatan mutu produk secara terus menerus. Selanjutnya masyarakat dapat berpartisipasi dalam bentuk pelaksanaan Dukung Produk Indonesia, dengan selalu mengkonsumsi produk-produk yang dihasilkan bangsanya sendiri.**

(Asrudin, dari berbagai sumber)